Review Jurnal Koperasi 25

Nama Anggota Kelompok :

• Syiam Noor W. (26210798)

• Rayi Kinasih (25210688)

• Dewi Kencanawati (21210903)

• Ericha Dian N. (22210387)

• Lestari Setyawati (24210005)

• Nihlah Adawiyah (24210976)

• Dwikie Bayu Ramadhan (22210218)

Jannes Situmorang
KAJI TINDAK PENINGKATAN PERAN KOPERASI DAN UKM SEBAGAI LEMBAGA KEUANGAN ALTERNATIF

I. PENDAHULUAN

1.Latar Belakang

Pembinaan dan pengembangan koperasi dan UKM bertujuan untuk meningkatkan fungsi dan perannya sebagai bagian integral dalam perekonomian nasional. Tujuan lainnya untuk menumbuhkannya menjadi usaha yang efisien, sehat dan mandiri dan mampu menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Dalam kenyataannya, koperasi dan UKM belum mampu menunjukkan perannya secara optimal seperti yang diharapkan. Hal ini terjadi karena adanya hambatan dan kendala yang bersifat internal dan eksternal yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan koperasi dan UKM. Salah satu hambatan dan kendala dimaksud adalah lemahnya sistem pendanaan untuk membiayai aktivitas usahanya. Koperasi dan UKM mengalami kesulitan untuk mengakses sumber- sumber permodalan atas lembaga keuangan terutama dari sektor perbankan. Koperasi dan UKM belum mampu memenuhi persyaratan untuk mendapatkan kredit yang biasanya diukur dengan 5C ( character, capacity, capital, collateral dan condition). Capital dan collateral adalah dua faktor yang paling sulit dipenuhi. Selain masalah 5C di atas, koperasi dan UKM mengalami berbagai masalah dalam memperoleh kredit bank, seperti bunga tinggi, jangkauan pelayanan bank yang masih terbatas. Pada dasarnya Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok. Pertama, BMT yang didirikan Kelompok Swadaya Masyarkat (KSM) yang belum berbadan hukum koperasi tetapi menggunakan aturan main persis seperti koperasi. Kedua, BMT yang sudah berbadan hukum koperasi. Dengan adanya berbagai masalah tersebut, maka perlu dilakukan kaji tindak atas peran BMT sebagai lembaga keuangan alternatif.
2.Rumusan Masalah
Karena belum adanya penilaian terhadap kinerja lembaga keuangan alternatif dalam mengembangkan program pemberdayaan ekonomi rakyat, maka timbul pertanyaan berikut:
1).Apakah usaha lembaga keuangan alternatif sudah efektif dan efisien dan bagaimana peranannya dalam sistem pembiayaan koperasi dan UKM?
2). Bagaimana rumusan strategi dan program aksi peningkatan peran lembaga
keuangan alternatif dalam sistem pembiayaan koperasi dan UKM?
3.Tujuan dan Manfaat

Kajian ini bertujuan untuk:
1). Mengkaji efektivitas dan efisiensi usaha lembaga keuangan alternatif dan peranannya dalam sistem pembiayaan koperasi dan UKM.
2). Merumuskan strategi dan program aksi peningkatan peran lembaga keuangan alternatif dalam sistem pembiayaan koperasi dan UKM. Hasil kajian ini dapat dimanfaatkan sebagai rekomendasi bagi penyempurnaan kebijaksanaan yang dapat mendorong peningkatan peran koperasi jasa keuangan sebagai lembaga keuangan alternatif

II. TINJAUAN PUSTAKA

1.Pengertian
Beberapa ahli mendefinisikan lembaga keuangan alternatif sebagai lembaga pendanaan di luar sistem perbankan konvensional dengan sistem bunga. Lembaga keuangan alternatif meliputi Perusahaan Modal Ventura, Leasing, Factoring (anjak piutang), Guarantee Fund, Perbankan Syariah, Koperasi Syariah dan Baitul Maal Wat Tamwil (BMT). Suhadi Lestiadi (1998), menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan lembaga keuangan alternatif adalah suatu lembaga pendanaan yang mengakar di tengah-tengah masyarakat, dimana proses penyaluran dananya dilakukan secara sederhana, murah dan cepat dengan prinsip keberpihakan kepada masyarakat kecil dan berazaskan keadilan. Dengan cara pandang dan pengertian lembaga pendanaan tersebut, maka istilah koperasi jasa keuangan diartikan sebagai koperasi yang menyelenggarakan jasa keuangan alternatif misalnya koperasi syariah dan Unit Simpan Pinjam Syariah, Kelompok Swadaya Masyarakat Pra Koperasi termasuk BMT, Koperasi Bank Perkreditan Rakyat Syariah, Koperasi Pembiayaan Indonesia (KPI).
Menjadi pertanyaan, siapa yang pantas disebut lembaga keuangan alternatif? Ada yang berpendapat bahwa lembaga keuangan alternatif yang menggunakan sistem bagi hasil dianggap sebagai sistem non konvensional dibanding sistem bunga. Sebagian lainnya berpendapat bahwa yang menjadi persoalan bukan sistem bagi hasil atau sistem bunganya itu, tetapi lebih mengacu pada kedekatan dan orientasi pelayanannya yang harus memihak pada rakyat kecil. Prinsip dari kegiatan lembaga ini adalah memobilisasi dana dari kelompok masyarakat yang mengalami surplus dana dan kemudian mengalokasikannya kepada kelompok masyarakat yang kekurangan dana atau masyarakat yang deficit dana. Ada dua cara dalam menjalankan usahanya. Pertama, menganut sistem bunga, artinya kepada setiap penyimpan diberikan bunga sebagai imbalan atas tabungannya dan kepada setiap peminjam juga dikenakan bunga sebagai balas jasa kepada pemilik dana. Kedua, menganut sistem syariah (bagi hasil) yang sering disebut sistem Islam. Dalam Sistem Syariah, insentif bagi setiap penyimpan diberikan dalam bentuk bagi hasil yang dihitung dari nisbah bagi hasil tertentu yang disepakati kedua belah pihak. Bagi Si Peminjam, juga dikenakan sistem bagi hasil tertentu sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
2. Baitul Maal Wa Tamwil (BMT)
Baitul Maal Wa Tamwil (BMT), dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan istilah Balai Mandiri Terpadu (BMT) merupakan salah satu lembaga pendanaan alternatif yang beroperasi di tengah masyarakat akar rumput. Pinbuk (1995) menyatakan bahwa BMT merupakan lembaga ekonomi rakyat kecil yang berupaya mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kegiatan ekonomi pengusaha kecil dan berdasarkan prinsip syariah dn koperasi. BMT memiliki dua fungsi yaitu : Pertama, Baitul Maal menjalankan fungsi untuk memberi santunan kepada kaum miskin dengan menyalurkan dana ZIS (Zakat, Infaq, Shodaqoh) kepada yang berhak; Kedua, Baitul Taamwil menjalankan fungsi menghimpun simpanan dan membeayai kegiatan ekonomi rakyat dengan menggunakan Sistem Syariah. Sistem bagi hasil adalah pola pembiayaan keuntungan maupun kerugian antara BMT dengan anggota penyimpan berdasarkan perhitungan yang disepakati bersama. BMT biasanya berada di lingkungan masjid, Pondok Pesantren, Majelis Taklim, pasar maupun di lingkungan pendidikan. Biasanya yang mensponsori pendirian BMT adalah para aghniya (dermawan), pemuka agama, pengurus masjid, pengurus majelis taklim, pimpinan pondok pesantren, cendekiawan, tokoh masyarakat, dosen dan pendidik. Peran serta kelompok masyarakat tersebut adalah berupa sumbangan pemikiran, penyediaan modal awal, bantuan penggunaan tanah dan gedung ataupun kantor. Untuk menunjang permodalan, BMT membuka kesempatan untuk mendapatkan sumber permodalan yang berasal dari zakat, infaq, dan shodaqoh dari orang-orang tersebut.
Hasil studi Pinbuk (1998) menunjukkan bahwa lembaga pendanaan yang saat ini berkembang memiliki kekuatan antara lain:
a). mandiri dan mengakar di masyarakat,
b). bentuk organisasinya sederhana,
c). sistem dan prosedur pembiayaan mudah,
d). memiliki jangkauan pelayanan kepada pengusaha mikro.
Kelemahannya adalah :
a). skala usaha kecil,
b). permodalan terbatas,
c). sumber daya manusia lemah,
d). sistem dan prosedur belum baku.
Untuk mengembangkan lembaga tersebut dari kelemahannya perlu ditempuh cara-cara pembinaan sbb:
a). pemberian bantuan manajemen,
b). peningkatan kualitas SDM dalam bentuk pelatihan, standarisasi sistem dan prosedur,
c). kerjasama dalm penyaluran dana,
d). bantuan dalam inkubasi bisnis.
3. Pola Tabungan dan Pembiayaan

1). Tabungan
Tabungan atau simpanan dapat diartikan sebagai titipan murni dari orang atau badan usaha kepada pihak BMT. Jenis-jenis tabungan/simpanan adalah sebagai berikut:
(1). Tabungan persiapan qurban;
(2). Tabungan pendidikan;
(3). Tabungan persiapan untuk nikah;
(4). Tabungan persiapan untuk melahirkan; (5). Tabungan naik haji/umroh;
(6). Simpanan berjangka/deposito;
(7). Simpanan khusus untuk kelahiran;
(8). Simpanan sukarela;
(9). Simpanan hari tua;
(10). Simpanan aqiqoh.

2). Pola Pembiayaan Pola pembiayaan terdiri dari bagi hasil dan jual beli dengan mark up
(1). Bagi Hasil Bagi hasil dilakukan antara BMT dengan pengelola dana dan antara BMT dengan penyedia dana (penyimpan/penabung). Bagi hasil ini dibedakan atas: • Musyarakah, adalah suatu perkongsian antara dua pihak atau lebih dalam suatu proyek dimana masing-masing pihak berhak atas segala keuntungan dan bertanggung jawab atas segala kerugian yang terjadi sesuai dengan penyertaannya masing-masing. • Mudharabah, adalah perkongsian antara dua pihak dimana pihak pertama (shahib al amal) menyediakan dana dan pihak kedua
(mudharib) bertanggung jawab atas pengelolaan usaha. Keuntungan dibagikan sesuai dengan rasio laba yang telah disepakati bersama terlebih dahulu di depan. Manakala rugi, shahib al amal akan kehilangan sebagian imbalan dari kerja keras dan manajerial skill selama proyek berlangsung. • Murabahah, adalah pola jual beli dengan membayar tangguh, sekali bayar. • Muzaraah, adalah dengan memberikan l kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (prosentase) dari hasil panen. • Wusaqot, adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzaraah dimana si penggarapnya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan si penggarap berhak atas rasio tertentu dari hasil panen.
(2). Jual Beli dengan Mark Up (keuntungan)
Jual beli dengan mark up merupakan tata cara jual beli yang dalam pelaksanaannya, BMT mengangkat nasabah sebagai agen (yang diberi kuasa) melakukan pembelian barang atas nama BMT, kemudian BMT bertindak sebagai penjual kepada nasabah dengan harga sejumlah harga beli tambah keuntungan bagi BMT atau sering disebut margin/mark up. Keuntungan yang diperoleh BMT akan dibagi kepada penyedia dan penyimpan dana. Jenis-jenisnya adalah: • Bai Bitsaman Ajil (BBA), adalah proses jual beli dimana pembayaran dilakukan secara lebih dahulu dan penyerahan barang dilakukan kemudian. • Bai As Salam, proses jual beli dimana pembayaran dilakukan terlebih dahulu dan penyerahan barang dilakukan kemudian.
• Al Istishna, adalah kontrak order yang ditandatangani bersamaan antara pemesan dengan produsen untuk pembuatan jenis barang tertentu. • Ijarah atau Sewa, adalah dengan memberi penyewa untuk mengambil pemanfaatan dari sarana barang sewaan untuk jangka waktu tertentu dengan imbalan yang besarnya telah disepakati bersama. • Bai Ut Takjiri, adakah suatu kontrak sewa yang diakhiri dengan penjualan. Dalam kontrak ini pembayaran sewa telah diperhitungkan sedemikian rupa sehingga padanya merupakan pembelian terhadap barang secara berangsur. • Musyarakah Mustanaqisah, adalah kombinasi antara musyawarah dengan ijarah (perkongsian dengan sewa). Dalam kontrak ini kedua belah pihak yang berkongsi menyertakan modalnya masing-masing.
3). Pembiayaan Non Profit
Sistem ini disebut juga pembiayaan kebajikan. Sistem ini lebih bersifat sosial dan tidak profit oriented. Sumber dan pembiayaan ini tidak membutuhkan biaya, tidak seperti bentuk-bentuk pembiayaan lainnya. 4. Pembentukan BMT Tujuan pembentukan BMT adalah untuk memperbanyak jumlah BMT sedangkan tujuan BMT itu sendiri adalah untuk :

1) memajukan kesejahteraan anggota dan masyarakat umum,

2) meningkatkan kekuatan dan posisi tawar pengusaha kecil dengan pelaku lain. Proses pembentukan BMT adalah sebagai berikut: Pertama, para pendiri minimum 20 orang.
Para pendiri menghubungi PINBUK setempat untuk mengurus perijinan pendiriannya. Kedua, mendaftarkan calon pengelola untuk mengikuti pelatihan singkat dan magang. Ketiga, mempersiapkan modal awal sebesar Rp. 5juta di pedesaan dan Rp.10juta di perkotaan. Keempat, jika bermaksud menjadi koperasi, BMT dapat segera mengajukan permohonan badan hukum koperasi.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembentukan BMT adalah:
1). Motivator (penggerak), memiliki peranan yang sangat signifikan terhadap sukses awal pendirian BMT. Penggerak ini berasal dari masyarakat setempat yang atas inisiatif sendiri atau inisiatif PINBUK dan pihak lain berminat membentuk BMT.
2). Pendekatan kepada tokoh kunci yang dapat terdiri dari pimpinan formal, pimpinan informal, usahawan, hartawan, dan dermawan. Para tokoh ini diharapkan bersedia menjadi Panitia Pembentukan BMT.
3). Pendekatan kepada para calon pendiri. Pendiri minimal 20 orang yang terdiri dari tokoh-tokoh yang mewakili berbagai kalangan masyarakat seperti pimpinan formal, agama, adat, pengusaha dan masyarakat banyak. Badan pendiri mengadakan rapat dan menetapkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga BMT serta memilih pengurus yang terdiri dari 3 – 5 orang.
4). Pengurus mengadakan seleksi pengelola yang jumlahnya minimal 3 orang yang terdiri manajer, bagian pembiayaan, bagian administrasi/keuangan dan bagian-bagian lain yang dibutuhkan
5). Para pengelola yang ditunjuk segera memasyarakatkan BMT dan mencari anggota dan BMT mulai beroperasi.
6). Antara pengurus dan pengelola tidak mempunyai hubungan kekeluargaan.
7). Organisasi yang dapat membentuk BMT antara lain seluruh anggota masyarakat, kelompok-kelompok masyarakat, organisasi sosial, organisasi profesi, LSM, proyek-proyek pemberdayaan masyarakat
8). Kelompok yang dapat dikembangkan menjadi BMT antara lain: arisan, simpan pinjam, pengajian, tani, usaha ekonomi produktif dan lain-lain.
5. Pembiakan BMT BMT yang sudah mapan dan mempunyai pengelola yang terampil diharapkan dapat membentuk BMT baru di luar wilayah kerjanya. Langkah-langkah membentuk BMT adalah :
1) BMT yang sudah mapan sebagai BMT induk menempatkan seorang atau lebih pengelola yang terampil sebagai manajer BMT di wilayah kerja baru,
2) BMT induk memfasilitasi pembentukan BMT baru dan menyediakan sarana dan prasarana,
3) Pengelola BMT baru dibawah bimbingan BMT induk menyosialisasikan BMT pada masyarakat sekitar dan mulai beroperasi,
4) Pengelola BMT baru memperkuat BMT-nya dengan merekrut pendiri, membentuk pengurus dan menghimpun modal awal dari masyarakat sekitar. BMT induk bisa melepas BMT baru apabila BMT baru sudah kuat dan mandiri.
III. METODE KAJIAN
1 Lokasi dan Objek Kajian Kajian dilaksanakan di 9 (sembilan) propinsi yang meliputi : Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB dan Sulawesi Selatan. Objek telitian adalah BMT dan yang akan diteliti adalah aspek kelembagaan dan keuangan usaha BMT itu sendiri.
2 Jenis Data Jenis data yang dibutuhkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari lapangan yang berpedoman pada kuesioner yang sudah dipersiapkan sebelumnya, sedangkan data sekunder diperoleh dari laporan instansi terkait, baik di pusat maupun di daerah.
3 Penarikan Sampel BMT, baik yang berbentuk KSM maupun koperasi di masing-masing propinsi dijadikan sebagai sampel, dengan total sampel 74 buah. Penarikan sampel (sampling) dilakukan dengan purposive atas BMT yang berada di lingkungan lembaga-lembaga keagamaan.
4 Model Analisis. Data yang sudah terkumpul dari lapangan akan dianalisis dengan menggunakan analisa deskriptif.
5 Organisasi Pelaksana dan Pembiayaan
Kajian ini ditangani satu tim yang terdiri dari Koordinator, Peneliti, Asisten Peneliti dan Staf Administrasi yang dibiayi dari Anggaran Pembangunan Belanja Negara.
IV. HASIL KAJIAN DAN PEMBAHASAN
Jumlah sampel yang diteliti sebanyak 74 BMT, dimana 71% diantaranya dalam bentuk Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) dan 29% dalam bentuk koperasi. Pada saat penelitian dilakukan, sebagian KSM sedang dalam proses mendapatkan Badan Hukum Koperasi. Pengamatan di lapang menunjukkan bahwa mekanisme kerja antara kedua bentuk badan hukum tersebut sama. Dengan demikian yang mempengaruhi output kedua lembaga tersebut bukan terletak pada bentuk badan hukumnya tetapi ditentukan semata-mata oleh kemampuan Para Pengelola BMT.
Dalam penelitian ini, yang akan dianalisis secara mendalam adalah kinerja Lembaga Keuangan Alternatif dan Kesehatan Kelembagaan dan Keuangannya. 1. Kinerja Lembaga Keuangan Alternatif Faktor-faktor yang dianalisis meliputi :
1). Pelayanan mudah, murah dan cepat,
2). Pertumbuhan asset BMT,
3). Kemampuan menyediakan pembiayaan,
4). Kebutuhan tambahan modal,
5). Mobilisasi tabungan,
6). kemampuan menghasilkan laba,
7). Sarana Usaha.

1). Pelayanan Mudah, Murah dan Cepat Hasil penelitian lapang menunjukkan bahwa BMT menempuh cara-cara yang mudah dan murah dalam memberikan pelayanan kepada para nasabah/anggota. Sebagai contoh,untuk mendapatkan pembiayaan, katakanlah dibawah Rp. 300.000,- nasabah cukup mengisi formulir permohonan pinjaman dan diikuti dengan peninjauan lokasi dan pengamatan usaha yang bersangkutan. Untuk pembiayaan yang sangat kecil ini biasanya BMT tidak mensyaratkan agunan tambahan, kecuali pembiayaan di atas Rp.500.000,-. Untuk menjamin pembiayaan kembali tepat waktu dan jumlah, BMT cukup menilai kelayakan usaha dengan cara mendatangi lokasi usaha. Penilaian kelayakan usaha dimaksudkan untuk memperkirakan kemampuan mengembalikan dalam jumlah dan waktu yang tepat. Umumnya permohonan pinjaman dapat disetujui atau ditolak dalam tempo kurang dari 1 minggu. Bagi nasabah lama jangka waktu pengembalian keputusan untuk menolak atau menerima pengajuan pembiayaan bisa lebih pendek lagi yaitu antara 1 – 3 hari. Selain itu, biaya pengurusannya sangat murah yaitu dalam bentuk pungutan biaya administrasi dan meterai. Data lapang menunjukkan bahwa BMT memungut biaya dari 68% nasabah sebesar 0,5% – 1%, sebanyak 2% dari 21% nasabah dan Rp.2.000,- dari 11% nasabah peminjam.
2). Pertumbuhan Asset BMT Dilihat dari sisi debet neraca BMT, assetnya terdiri dari aktiva lancer dan aktiva tetap. Sementara dilihat dari sisi kredit pada neraca, asset BMT merupakan penjumlahan simpanan suka rela dan jumlah modal yang dimiliki.Nilai asset dapat mencerminkan kekayaan dan kewajiban BMT kepada para pemilik maupun pihak ketiga. BMT yang assetnya mengalami pertumbuahan terus menerus berarti BMT itu selain tumbuh makin besar, juga berarti semakin dipercayai baik oleh pihak pemilik maupun pihak ketiga. Tabel 1 menunjukkan bahwa BMT yang memiliki asset senilai kurang dari Rp.10 juta sebanyak 15%, kemudian yang memiliki Rp.10 juta s/d Rp.30juta sebanyak 51%, yang memiliki asset Rp.30 juta s/d Rp.60juta sebanyak 17%, yang memiliki asset Rp.60juta s/d Rp.100juta sebanyak 10% dan yang memiliki asset lebih dari Rp.100juta sebanyak 5%. Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar BMT memiliki asset di bawah Rp.30 juta. Menganalisis asset BMT dari nilai besarannya tidaklah cukup, karena itu perlu memperhatikan tingkat pertumbuhannya. Angka-angka pertumbuhan dapat mencerminkan tingkat perkembangan BMT yang sesungguhnya. Hampir semua BMT yang diteliti menunjukkan pertumbuhan asset yang sangat cepat.
3). Kemampuan Menyediakan Pembiayaan Dari BMT sampel yang diamati terlihat adanya peningkatan kemampuan atas penyediaan pembiayaan usaha kecil. Nasabah usaha kecil yang dilayani BMT adalah pedagang pasar, bakul sayur, tukang bakso, pedagang eceran, warung, pedagang keliling dan usaha mikro lainnya. Mereka membutuhkan modal kerja dengan perputaran harian, mingguan atau bulanan. Hasil penelitian atas BMT menunjukkan (lihat Tabel 3) bahwa BMT melayani pinjaman mingguan sebanyak 26% dan pinjaman bulanan sebanyak 74%.
4). Kebutuhan Tambahan Modal Pada umumnya tambahan bantuan modal digunakan untuk memperbesar usaha di sektor riil. Pada Tabel 8 terlihat besarnya kebutuhan bantuan dari sejumlah sampel yang diamati. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 31% BMT membutuhkan tambahan modal sebesar kurang dari Rp.10juta sebanyak 19% BMT membutuhkan tambahan modal sebesar Rp.10juta s/d Rp. 25juta sebanyak 22% BMT membutuhkan tambahan modal Rp.25juta s/d Rp. 50juta dan sebanyak 28% BMT membutuhkan tambahan modal sebesar lebih dari Rp. 50juta.
5). Mobilisasi Tabungan Agar masyarakat terdorong dan gemar menabung, sebaiknya diberikan insentif dalam bentuk bagi hasil yang disampaikan melalui kegiatan promosi, leaflet dan penyuluhan dengan melibatkan tokoh masyarakat, pengurus majelis taklim. Nisbah bagi hasil yang diberikan kepada para penabung bervariasi antar BMT. Tabungan yang jangka waktunya lebih panjang mendapatkan nisbah bagi hasil lebih besar dibanding yang jangka waktunya lebih pendek.
6). Kemampuan Menghasilkan Laba BMT sebagai lembaga keuangan alternatif dapat menghasilkan profit yang cukup besar. Tabel 11 menunjukkan bahwa sebagian besar BMT yang diamati menghasilkan profit sebesar kurang dari Rp. 500.000,- sebanyak 16%; profit sebesar antara Rp.500.000,- s/d Rp.1juta sebanyak 28%; profit sebesar antara Rp.1 juta s/d Rp5 juta sebanyak 23%; profit sebesar antara Rp. 5juta s/d Rp. 10juta sebanyak 23% dan profit sebesar lebih besar dari Rp. 10juta sebanyak 5%.
7). Sarana Usaha Data lapang menunjukkan bahwa sebagian besar BMT sampel tidak memiliki tempat usaha berupa tanah dan bangunan. Dalam menjalankan usahanya, BMT umumnya masih mengontrak tempat, menumpang atau karena mendapat hibah. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 12,13,14 berikut. Tabel 12 menunjukkan, hanya 11% BMT yang memiliki tanah sendiri, 56% mengontrak/menyewa, 16% menumpang dan 17% mendapat hibah.
2. KESEHATAN KELEMBAGAAN DAN KEUANGAN Salah satu cara untuk melihat keberhasilan lembaga keuangan alternatif adalah dengan melihat kinerja kesehatan kelembagaan dan keuangan. Sebagai pedoman penilaian digunakan metoda yang dipakai PINBUK dalam menilai BMT. Fokus yang dinilai adalah aspek jasadiah (yang terlihat), sedangkan aspek ruhiyah (yang tak tampak dari permukaan) tidak dinilai.
1). Kesehatan Kelembagaan Proses penilaian kelembagaan BMT dimulai dengan mengelompokkan beberapa faktor atau komponen dasar yang diperkirakan sangat dominan mempengaruhi kinerja kelembagaan BMT. Penilaian kesehatan kelembagaan BMT dapat diwakili faktor-faktor berikut:
(1). Peran serta masyarakat dalam pendirian BMT,
(2). Tingkat kemandirian,
(3). Keaktifan pengurus BMT, dan
(4). Kualitas pengelola.

(1). Peran Serta Masyarakat Dalam Pendirian BMT Proses pendirian BMT sangat memperhatikan tidak saja aspek ekonomi tetapi yang lebih penting adalah memperjuangkan nilai-nilai syariah yang diyakini para pendirinya dapat menolong kaum dhuafa terutama yang lemah ekonomi. Faktor kesediaan para pendiri memberikan modal awal sangat menentukan masa depan keberadaan BMT. Peranan tokoh masyarakat sangat dominan dalam pendirian BMT. Peranan para tokoh ini dapat dilihat dari jumlah orang yang mendirikan BMT. Semakin banyak pendiri BMT, diasumsikan semakin sehat BMT yang bersangkutan. Sebaliknya, semakin sedikit pendiri BMT, diasumsikan semakin tidak sehat BMT tersebut. Pendiri dianggap banyak bila pendirinya lebih dari 20 orang dan dianggap sedikit jika pendirinya kurang dari 20 orang. Tabel 15 menunjukkan jumlah BMT yang mendapat dukungan dari tokoh masyarakat. Terlihat bahwa sebanyak 38% BMT hanya didukung oleh kurang dari 20 orang pendiri.dan sebanyak 62% BMT sampel didirikan oleh lebih 20 orang pendiri
2). Tingkat Kemandirian Hasil pengamatan lapang menunjukkan, semua BMT yang diteliti dibentuk atas swadaya masyarakat, tokoh masyarakat, alim ulama, pengurus majelis taklim. Para pendiri ini menyediakan modal seadanya, yakni berkisar antara kurang dari Rp.2juta s/d lebih Rp.10juta
(3). Keaktifan Pengurus BMT Secara ideal untuk menilai keaktifan pengurus harus dilakukan pengamatan secara terus menerus dan dalam jangka waktu yang lama. Namun, karena hal ini tidak bisa dilakukan karena keterbatasan waktu dan sumberdaya lainnya maka peneliti menggunakan variabel kehadiran sebagai pendekatan untuk menjelaskan keaktifan pengurus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kehadiran pengurus yakni ketua, sekretaris dan bendahara
(4). Kualitas Pengelola Pengelola BMT terdiri dari manajer, bagian keuangan, bagian pembiayaan dan penagihan, serta sekretariat. Masing-masing pengelola mempunyai tanggung jawab dan wewenang. Pengelola yang bermutu dapat mempengaruhi kinerja kelembagaan BMT. Pengertian mutu pengelola umumnya dikaitkan dengan tingkat pendidikan dan standar kompetensi untuk menjalankan BMT. Pengelola yang berpendidikan lebih tinggi diasumsikan lebih bermutu dibandingkan dengan yang berpendidikan lebih rendah. Standar kompetensi pengelola BMT diartikan sebagai kemampuan pengelola menjalankan standar operasi BMT sesuai dengan prinsip Bank Syariah. Pengelola harus memiliki skill/ketrampilan dalam mengelola usaha. Ketrampilan dapat diperoleh melalui pelatihan dari PINBUK setempat
2). Kesehatan Keuangan Analisis kesehatan keuangan BMT akan dapat mengungkap sejauhmana pengelolaan usaha BMT dikelola, yang hasilnya dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak-pihak terkait: seperti para pendiri, pemilik/anggota, nasabah/peminjam, para Pembina BMT. Banyak cara yang dipakai untuk menilai kesehatan keuangan BMT seperti :

(1). Struktur permodalan,
(2). Kualitas aktiva produktif,
(3). Likuiditas,
(4). Rentabilitas,
(5). Efisiensi.

(1). Struktur Permodalan Keberadaan/kesehatan lembaga keuangan sangat tergantung dari kepercayaan nasabah/masyarakat, karena itu kepercayaan adalah segala- galanya bagi lembaga keuangan. Cara yang paling mudah untuk mengetahui dan menghitung kesehatan struktur permodalan BMT yaitu menghitung rasio antara Modal dan Simpanan.

Modal adalah seluruh nilai simpanan pokok khusus, simpanan pokok, simpanan wajib, penyertaan, hibah, cadangan, laba/rugi. Simpanan adalah seluruh nilai simpanan sukarela, (misalnya simpanan mudhrobah, Idul Fitri, pendidikan dsb termasuk untung kepada pihak ketiga)

(2). Kualitas Aktiva Produktif (KAP) Kredit yang dikeluarkan harus disalurkan pada orang/nasabah yang tepat. Tepat berarti tepat jumlah dan waktu, tepat orang, tepat penggunaan, dan tepat pengembaliannya sehingga tidak menimbulkan masalah di kemudian hari. Kualitas aktiva produktif diartikan sebagai sejumlah pembiayaan yang dapat menghasilkan pendapatan/bagi hasil dengan sedikit mungkin menimbulkan kredit macet. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persyaratan jaminan hanya diberikan kepada peminjam skala besar. Jaminan itu berupa sertifikat tanah, BPKB, barang atau akte/surat-surat berharga lain.

(3). Likuiditas Tersedianya secara cukup dana kas dan bank (aktiva yang paling likuid) yang dapat diuangkan sewaktu-waktu menjadi jaminan kesehatan likuiditas bagi BMT yang bersangkutan. Tersedianya dana likuid juga memberikan rasa aman bagi penabung/nasabah. BMT yang sehat dan likuid adalah BMT yang mampu menjaga tersedianya dana kas dan bank dalam jumlah yang sangat kecil atau sangat besar. Bila dana kas dan banknya terlalu kecil bisa disebut BMT yang illikuid, sementara yang terlalu besar dana likuiditasnya bisa dikategorikan sebagai BMT yang memegang dana yang idle (menganggur). BMT yang illikuid akan menimbulkan penurunan kepercayaan dari masyarakat, sementara bagi BMT yang banyak idle memberi dampak pada tingginya cost of fund, karena selama uang itu menganggur, BMT harus membayar bagi hasil kepada si penyimpan. Adapun rumus untuk menentukan apakah BMT memenuhi kesehatan likuiditas adalah sebagai berikut.

(4). Rentabilitas Rentabilitas dapat diartikan sebagai kemampun BMT dalam menghasilkan laba/surplus sesuai dengan nilai asset yang dimiliki. Laba adalah sesuatu yang sangat didambakan dunia usaha termasuk BMT. Rumus untuk menentukan kesehatan rentabilitas adalah sebagai berikut.

(5). Efisiensi Efisiensi dapat diartikan sebagai kemampuan BMT mengendalikan biaya operasional untuk menghasilkan pendapatan operasional tertentu. Biaya operasional meliputi biaya bagi hasil simpnan, overhead cost seperti listrik, karyawan, telepon, biaya penagihan dll. Pendapatan operasional terdiri dari pendapatan bagi hasil, mark up dan hasil kegiatan pendanaan suatu usaha nasabah.Efisiensi usaha BMT dapat diukur dengan menghitung rasio antara biaya operasional dengan pendapatan operasional. Jika rasionya >1 berarti BMT mengalami kerugian dan bila <1 berarti BMT mendapat keuntungan.

KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan 1). Dilihat dari prosedur pembiayaan dan jangkauan pelayanannya, BMT merupakan lembaga keuangan alternatif yang sangat efektif dalam melayani kebutuhan pembiayaan modal kerja jangka pendek yang sangat diperlukan pengusaha kecil mikro. Dalam menjalankan usahanya, baik BMT yang berbentuk KSM maupun berbentuk koperasi menggunakan prinsip-prinsip koperasi yang orientasi pelayanannya selalu berpegang pada prinsip sederhana, murah dan cepat.
2). Perkembangan asset BMT yang sangat cepat ditentukan adanya mobilisasi dana dari pihak ketiga serta cepatnya perputaran pengembalian pinjaman para nasabah yang selanjutnya dipinjamkan kepada nasabah lain.
3). Lembaga keuangan ini dapat menghasilkan profit yang cukup besar dan sangat menguntungkan para pemiliknya.
4). Pada umumnya BMT yang diteliti menggunakan pola pembiayaan mudharabah dan Bai Bitsaman Aji (BBA). Pola pembiayaan BBA punya keunggulan karena punya tingkat perputaran yang sangat tinggi, berisiko rendah dan memberikan margin keuntungan yang relatif besar.
5). Dasar pemberian pinjaman kepada nasabah adalah berupa penilaian kelayakan usaha, biaya administrasi sebesar 1% dan 2%. Pinjaman di bawah Rp.300.000,- tidak menggunakan jaminan. Yang menjadi jaminannya adalah kepercayaan yang diberikan pemuka masyarakat adat/agama atau pemerintah yang mengetahui secara mendalam jati diri si peminjam.
6). Jasa pinjaman/pembiayaan yang diberikan kepada nasabah/anggota selalu dimusyarahkan dan disepakati terlebih dahulu dan bersifat fleksibel. Jika debitur tidak mampu membayar pinjamannya karena alasan yang wajar, maka kesepakatan bisa ditinjau kembali. Jika samasekali tidak bisa mengembalikan karena pailit maka pinjaman diputihkan.
7). Untuk mendorong orang menabung, BMT menggunakan pola nisbah bagi hasil, misalnya 65 :35 ( BMT : Penabung )

8). Analisis penilaian terhadap kesehatan kelembagaan BMT yang meliputi aspek pendirinya, keaktifan pengurus maupun kualitas pengelola dapat dinyatakan bahwa BMT yang diteliti dinyatakan sangat sehat.
9). Kesehatan keuangan BMT dinilai dari lima aspek yaitu struktur permodalan, kualitas aktiva produktif, likuiditas, efisiensi, dan rentabilitas. Dilihat dari kelima aspek tersebut maka BMT sampel yang diamati ada yang amat sehat, sehat, kurang sehat dan sangat tidak sehat.

2. Saran

1). Pembiakan BMT perlu dipercepat agar jumlah BMT semakin banyak ditengah-tengah masyarakat.
2). Perlu dilakukan kembali penilaian terhadap kebijakan penyediaan bantuan keuangan revolving fund dengan mengintrodusi dana padanan dari pemilik/pendiri.
3). Perlu dilakukan pengembangan sistem interlending antar BMT.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, (1995). Pedoman Cara Pembentukan BMT. Pinbuk, Jakarta. Anonim, (1995). Peraturan Dasar dan Contoh AD/ART BMT. PINBUK, Jakarta. Anonim, (1995). Pedoman Penilaian Kesehatan BMT. PINBUK, Jakarta. Lestiadi, Suhadji, (1998). Peranan Bank Muamalat Dalam Mengembangkan Lembaga Keuangan Alternatif. Jakarta. Masngudi, (1998). Koperasi Pembiayaan Indonesia. Jakarta. Usman, Marzuki (1998). Strategi Pengembangan Pembiayaan Pengusaha Kecil, Menengah dan Koperasi Menghadapi Perdagangan Bebas. Kewirausahaan Muslim, (1996). “ Mitra Usaha Kecil” Pemberdayaan Ekonomi Rakyat. Majalah PINBUK.

Review Jurnal

I[Artikel – Th. II – No. 5 – Agustus 2003]
KOPERASI INDONESIA: POTRET DAN TANTANGAN
Jannes Situmorang
ABSTRAK

Pembinaan dan pengembangan koperasi dan UKM bertujuan untuk meningkatkan fungsi dan perannya sebagai bagian integral dalam perekonomian nasional. Tujuan lainnya untuk menumbuhkannya menjadi usaha yang efisien, sehat dan mandiri dan mampu menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Dalam kenyataannya, koperasi dan UKM belum mampu menunjukkan perannya secara optimal seperti yang diharapkan. Hal ini terjadi karena adanya hambatan dari internal maupun eksternal yang mempengaruhi pertumbuhan koperasi dan UKM.
Beberapa ahli mendefinisikan lembaga keuangan alternatif sebagai lembaga pendanaan di luar sistem perbankan konvensional dengan sistem bunga, bahwa yang dimaksud dengan lembaga keuangan alternatif adalah suatu lembaga pendanaan yang mengakar di tengah-tengah masyarakat, dimana proses penyaluran dananya dilakukan secara sederhana, murah dan cepat dengan prinsip keberpihakan kepada masyarakat kecil dan berazaskan keadilan. Dengan cara pandang dan pengertian lembaga pendanaan tersebut, maka istilah koperasi jasa keuangan diartikan sebagai koperasi yang menyelenggarakan jasa keuangan alternatif misalnya koperasi syariah dan Unit Simpan Pinjam Syariah, Kelompok Swadaya Masyarakat Pra Koperasi termasuk BMT, Koperasi Bank Perkreditan Rakyat Syariah, Koperasi Pembiayaan Indonesia (KPI)

Prinsip dari kegiatan lembaga ini adalah memobilisasi dana dari kelompok masyarakat yang mengalami surplus dana dan kemudian mengalokasikannya kepada kelompok masyarakat yang kekurangan dana atau masyarakat yang deficit dana. Ada dua cara dalam menjalankan usahanya. Pertama, menganut sistem bunga, artinya kepada setiap penyimpan diberikan bunga sebagai imbalan atas tabungannya dan kepada setiap peminjam juga dikenakan bunga sebagai balas jasa kepada pemilik dana. Kedua, menganut sistem syariah (bagi hasil) yang sering disebut sistem Islam. Dalam Sistem Syariah, insentif bagi setiap penyimpan diberikan dalam bentuk bagi hasil yang dihitung dari nisbah bagi hasil tertentu yang disepakati kedua belah pihak. Bagi Si Peminjam, juga dikenakan sistem bagi hasil tertentu sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
Baitul Maal Wa Tamwil (BMT), dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan istilah Balai Mandiri Terpadu (BMT) merupakan salah satu lembaga pendanaan alternatif yang beroperasi di tengah masyarakat akar rumput.
Sistem bagi hasil adalah pola pembiayaan keuntungan maupun kerugian antara BMT dengan anggota penyimpan berdasarkan perhitungan yang disepakati bersama

POINT-POINT

I. PENDAHULUAN
Latar Belakang Pembinaan dan pengembangan koperasi dan UKM bertujuan untuk meningkatkan fungsi dan perannya sebagai bagian integral dalam perekonomian nasional. Tujuan lainnya untuk menumbuhkannya menjadi usaha yang efisien, sehat dan mandiri dan mampu menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Dalam kenyataannya, koperasi dan UKM belum mampu menunjukkan perannya secara optimal seperti yang diharapkan. Hal ini terjadi karena adanya hambatan dan kendala yang bersifat internal dan eksternal yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan koperasi dan UKM. Salah satu hambatan dan kendala dimaksud adalah lemahnya sistem pendanaan untuk membiayai aktivitas usahanya. Koperasi dan UKM mengalami kesulitan untuk mengakses sumber- sumber permodalan atas lembaga keuangan terutama dari sektor perbankan.

2. Rumusan Masalah
Karena belum adanya penilaian terhadap kinerja lembaga keuangan alternatif dalam mengembangkan program pemberdayaan ekonomi rakyat, maka timbul pertanyaan berikut:

1). Apakah usaha lembaga keuangan alternatif sudah efektif dan efisien dan bagaimana peranannya dalam sistem pembiayaan koperasi dan UKM?
2). Bagaimana rumusan strategi dan program aksi peningkatan peran lembaga keuangan alternatif dalam sistem pembiayaan koperasi dan UKM?

3.Tujuan dan Manfaat
Kajian ini bertujuan untuk:
1). Mengkaji efektivitas dan efisiensi usaha lembaga keuangan alternatif dan peranannya dalam sistem pembiayaan koperasi dan UKM.
2). Merumuskan strategi dan program aksi peningkatan peran lembaga keuangan alternatif dalam sistem pembiayaan koperasi dan UKM. Hasil kajian ini dapat dimanfaatkan sebagai rekomendasi bagi penyempurnaan kebijaksanaan yang dapat mendorong peningkatan peran koperasi jasa keuangan sebagai lembaga keuangan alternatif

II. TINJAUAN PUSTAKA

1.Pengertian
Pembinaan dan pengembangan koperasi dan UKM bertujuan untuk meningkatkan fungsi dan perannya sebagai bagian integral dalam perekonomian nasional. Tujuan lainnya untuk menumbuhkannya menjadi usaha yang efisien, sehat dan mandiri dan mampu menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Dalam kenyataannya, koperasi dan UKM belum mampu menunjukkan perannya secara optimal seperti yang diharapkan. Hal ini terjadi karena adanya hambatan dari internal maupun eksternal yang mempengaruhi pertumbuhan koperasi dan UKM.
Beberapa ahli mendefinisikan lembaga keuangan alternatif sebagai lembaga pendanaan di luar sistem perbankan konvensional dengan sistem bunga, bahwa yang dimaksud dengan lembaga keuangan alternatif adalah suatu lembaga pendanaan yang mengakar di tengah-tengah masyarakat, dimana proses penyaluran dananya dilakukan secara sederhana, murah dan cepat dengan prinsip keberpihakan kepada masyarakat kecil dan berazaskan keadilan. Dengan cara pandang dan pengertian lembaga pendanaan tersebut, maka istilah koperasi jasa keuangan diartikan sebagai koperasi yang menyelenggarakan jasa keuangan alternatif misalnya koperasi syariah dan Unit Simpan Pinjam Syariah, Kelompok Swadaya Masyarakat Pra Koperasi termasuk BMT, Koperasi Bank Perkreditan Rakyat Syariah, Koperasi Pembiayaan Indonesia (KPI)

2. Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) Baitul Maal Wa Tamwil (BMT), dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan istilah Balai Mandiri Terpadu (BMT) merupakan salah satu lembaga pendanaan alternatif yang beroperasi di tengah masyarakat akar rumput. Pinbuk (1995) menyatakan bahwa BMT merupakan lembaga ekonomi rakyat kecil yang berupaya mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kegiatan ekonomi pengusaha kecil dan berdasarkan prinsip syariah dn koperasi. BMT memiliki dua fungsi yaitu : Pertama, Baitul Maal menjalankan fungsi untuk memberi santunan kepada kaum miskin dengan menyalurkan dana ZIS (Zakat, Infaq, Shodaqoh) kepada yang berhak; Kedua, Baitul Taamwil menjalankan fungsi menghimpun simpanan dan membeayai kegiatan ekonomi rakyat dengan menggunakan Sistem Syariah. Sistem bagi hasil adalah pola pembiayaan keuntungan maupun kerugian antara BMT dengan anggota penyimpan berdasarkan perhitungan yang disepakati bersama.

3. Pola Tabungan dan Pembiayaan
1). Tabungan Tabungan atau simpanan dapat diartikan sebagai titipan murni dari orang atau badan usaha kepada pihak BMT.
2). Pola Pembiayaan Pola pembiayaan terdiri dari bagi hasil dan jual beli dengan mark up
3). Pembiayaan Non Profit Sistem ini disebut juga pembiayaan kebajikan. Sistem ini lebih bersifat sosial dan tidak profit oriented. Sumber dan pembiayaan ini tidak membutuhkan biaya, tidak seperti bentuk-bentuk pembiayaan lainnya.

4. Pembentukan BMT Tujuan pembentukan BMT adalah untuk memperbanyak jumlah BMT sedangkan tujuan BMT itu sendiri adalah untuk :
1) memajukan kesejahteraan anggota dan
2) meningkatkan kekuatan dan posisi tawar pengusaha kecil

5. Pembiakan BMT BMT yang sudah mapan dan mempunyai pengelola yang terampil diharapkan dapat membentuk BMT baru di luar wilayah kerjanya

III. METODE KAJIAN

1. Lokasi dan Objek Kajian Kajian dilaksanakan di 9 (sembilan) propinsi yang meliputi : Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB dan Sulawesi Selatan. Objek telitian adalah BMT dan yang akan diteliti adalah aspek kelembagaan dan keuangan usaha BMT itu sendiri.
2. Jenis Data Jenis data yang dibutuhkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari lapangan yang berpedoman pada kuesioner yang sudah dipersiapkan sebelumnya, sedangkan data sekunder diperoleh dari laporan instansi terkait, baik di pusat maupun di daerah.
3. Penarikan Sampel BMT, baik yang berbentuk KSM maupun koperasi di masing-masing propinsi dijadikan sebagai sampel, dengan total sampel 74 buah. Penarikan sampel (sampling) dilakukan dengan purposive atas BMT yang berada di lingkungan lembaga-lembaga keagamaan.
4. Model Analisis. Data yang sudah terkumpul dari lapangan akan dianalisis dengan menggunakan analisa deskriptif.
5. Organisasi Pelaksana dan Pembiayaan
Kajian ini ditangani satu tim yang terdiri dari Koordinator, Peneliti, Asisten Peneliti dan Staf Administrasi yang dibiayi dari Anggaran Pembangunan Belanja Negara.

IV. HASIL KAJIAN DAN PEMBAHASAN

Jumlah sampel yang diteliti sebanyak 74 BMT, dimana 71% diantaranya dalam bentuk Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) dan 29% dalam bentuk koperasi. Pada saat penelitian dilakukan, sebagian KSM sedang dalam proses mendapatkan Badan Hukum Koperasi. Pengamatan di lapang menunjukkan bahwa mekanisme kerja antara kedua bentuk badan hukum tersebut sama. Dengan demikian yang mempengaruhi output kedua lembaga tersebut bukan terletak pada bentuk badan hukumnya tetapi ditentukan semata-mata oleh kemampuan Para Pengelola BMT.
Dalam penelitian ini, yang akan dianalisis secara mendalam adalah kinerja Lembaga Keuangan Alternatif dan Kesehatan Kelembagaan dan Keuangannya. 1. Kinerja Lembaga Keuangan Alternatif Faktor-faktor yang dianalisis meliputi :
1). Pelayanan mudah, murah dan cepat,
2). Pertumbuhan asset BMT,
3). Kemampuan menyediakan pembiayaan,
4). Kebutuhan tambahan modal,
5). Mobilisasi tabungan,
6). kemampuan menghasilkan laba,
7). Sarana Usaha.

2. KESEHATAN KELEMBAGAAN DAN KEUANGAN Salah satu cara untuk melihat keberhasilan lembaga keuangan alternatif adalah dengan melihat kinerja kesehatan kelembagaan dan keuangan. Sebagai pedoman penilaian digunakan metoda yang dipakai PINBUK dalam menilai BMT. Fokus yang dinilai adalah aspek jasadiah (yang terlihat), sedangkan aspek ruhiyah (yang tak tampak dari permukaan) tidak dinilai.
1). Kesehatan Kelembagaan Proses penilaian kelembagaan BMT dimulai dengan mengelompokkan beberapa faktor atau komponen dasar yang diperkirakan sangat dominan mempengaruhi kinerja kelembagaan BMT.
2). Kesehatan Keuangan Analisis kesehatan keuangan BMT akan dapat mengungkap sejauhmana pengelolaan usaha BMT dikelola, yang hasilnya dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak-pihak terkait: seperti para pendiri, pemilik/anggota, nasabah/peminjam, para Pembina BMT.
KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan
1). Dilihat dari prosedur pembiayaan dan jangkauan pelayanannya, BMT merupakan lembaga keuangan alternatif yang sangat efektif dalam melayani kebutuhan pembiayaan modal kerja jangka pendek yang sangat diperlukan pengusaha kecil mikro. Dalam menjalankan usahanya, baik BMT yang berbentuk KSM maupun berbentuk koperasi menggunakan prinsip-prinsip koperasi yang orientasi pelayanannya selalu berpegang pada prinsip sederhana, murah dan cepat.
2). Perkembangan asset BMT yang sangat cepat ditentukan adanya mobilisasi dana dari pihak ketiga serta cepatnya perputaran pengembalian pinjaman para nasabah yang selanjutnya dipinjamkan kepada nasabah lain.
3). Lembaga keuangan ini dapat menghasilkan profit yang cukup besar dan sangat menguntungkan para pemiliknya.
4). Pada umumnya BMT yang diteliti menggunakan pola pembiayaan mudharabah dan Bai Bitsaman Aji (BBA). Pola pembiayaan BBA punya keunggulan karena punya tingkat perputaran yang sangat tinggi, berisiko rendah dan memberikan margin keuntungan yang relatif besar.
5). Dasar pemberian pinjaman kepada nasabah adalah berupa penilaian kelayakan usaha, biaya administrasi sebesar 1% dan 2%. Pinjaman di bawah Rp.300.000,- tidak menggunakan jaminan. Yang menjadi jaminannya adalah kepercayaan yang diberikan pemuka masyarakat adat/agama atau pemerintah yang mengetahui secara mendalam jati diri si peminjam.
6). Jasa pinjaman/pembiayaan yang diberikan kepada nasabah/anggota selalu dimusyarahkan dan disepakati terlebih dahulu dan bersifat fleksibel. Jika debitur tidak mampu membayar pinjamannya karena alasan yang wajar, maka kesepakatan bisa ditinjau kembali. Jika samasekali tidak bisa mengembalikan karena pailit maka pinjaman diputihkan.
7). Untuk mendorong orang menabung, BMT menggunakan pola nisbah bagi hasil, misalnya 65 :35 ( BMT : Penabung )

8). Analisis penilaian terhadap kesehatan kelembagaan BMT yang meliputi aspek pendirinya, keaktifan pengurus maupun kualitas pengelola dapat dinyatakan bahwa BMT yang diteliti dinyatakan sangat sehat.
9). Kesehatan keuangan BMT dinilai dari lima aspek yaitu struktur permodalan, kualitas aktiva produktif, likuiditas, efisiensi, dan rentabilitas. Dilihat dari kelima aspek tersebut maka BMT sampel yang diamati ada yang amat sehat, sehat, kurang sehat dan sangat tidak sehat.

2. Saran
1). Pembiakan BMT perlu dipercepat agar jumlah BMT semakin banyak ditengah-tengah masyarakat.
2). Perlu dilakukan kembali penilaian terhadap kebijakan penyediaan bantuan keuangan revolving fund dengan mengintrodusi dana padanan dari pemilik/pendiri.
3). Perlu dilakukan pengembangan sistem interlending antar BMT.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, (1995). Pedoman Cara Pembentukan BMT. Pinbuk, Jakarta. Anonim, (1995). Peraturan Dasar dan Contoh AD/ART BMT. PINBUK, Jakarta. Anonim, (1995). Pedoman Penilaian Kesehatan BMT. PINBUK, Jakarta. Lestiadi, Suhadji, (1998). Peranan Bank Muamalat Dalam Mengembangkan Lembaga Keuangan Alternatif. Jakarta. Masngudi, (1998). Koperasi Pembiayaan Indonesia. Jakarta. Usman, Marzuki (1998). Strategi Pengembangan Pembiayaan Pengusaha Kecil, Menengah dan Koperasi Menghadapi Perdagangan Bebas. Kewirausahaan Muslim, (1996). “ Mitra Usaha Kecil” Pemberdayaan Ekonomi Rakyat. Majalah PINBUK.

Review Jurnal Koperasi 24

Nama Anggota Kelompok :

  • Lestari Setyawati  (24210005)
  • Rayi Kinasih   (25210688)
  • Dewi Kencanawati   (21210903)
  • Ericha Dian N.   (22210387)
  • Syiam Noor W.   (26210798)
  • Nihlah Adawiyah (24210976)
  • Dwikie Bayu Ramadhan   (22210218)

 

 

 

KAJIAN TENTANG KETERKAITAN KOPERASI SEKUNDER DENGAN KOPERASI PRIMER ANGGOTANYA*)

Togap Tambunan dan Jannes Situmorang

 

 

 

Abstrak

 

Undang-Undang Koperasi Nomor 25 tahun 1992 menyebutkan bahwa koperasi sekunder adalah koperasi yang didirikan oleh dan beranggotakan koperasi primer dan/atau koperasi sekunder berdasarkan kesamaan kepentingan dan tujuan efisiensi.

Beberapa contoh Koperasi Sekunder yang dikenal antara lain INKOPOL, INKOPKAR, IKPRI, INKOPDIT, INKUD, IKPI, GKBI, GKSI, PUSKUD, PUSKOPDIT, PUSKOPTI, PUSKOPKAR, PUSKSP, dan lain-lain. Hingga saat ini tercatat terdapat 156 koperasi sekunder tingkat nasional yang terdiri dari 63 Induk Koperasi, 7 koperasi berbentuk Gabungan, dan 86 koperasi lainnya berbentuk Pusat (Kementerian Koperasi dan UKM, 2005).

Fungsi koperasi sekunder secara spesifik menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 adalah (1) Berfungsi sebagai jaringan dengan sekurang-kurangnya 3 anggota untuk menciptakan skala ekonomis dan posisi tawar, dan (2) Berfungsi sebagai ”subsidiaritas”

Pada umumnya sebagian koperasi primer mengalami perkembangan yang makin maju, sebagian lagi tidak mengalami kemajuan berarti atau tetap statis dan sebagian lainnya malah makin menurun.

Koperasi primer anggota dari koperasi sekunder yang terpilih dalam penelitian ini berjumlah 107 koperasi. Jumlah ini dikategorikan menurut 12 jenis koperasi sekunder tingkat provinsi dengan perincian sebagai berikut: (1) KUD, 26 koperasi; (2) KUD Susu, 4 koperasi; (3) KOPDIT, 11 koperasi; (4) KUD MINA, 2 koperasi; (5) KPRI, 24 koperasi; (6) KOPPAS, 6 koperasi; (7) KOPPONTREN, 1 koperasi; (8) KSP, 7 koperasi; (9) KOPWAN, 5 koperasi; (10) KOPPOLDA, 12 koperasi, dan (11) KSU, 9 koperasi.

 

Point-Point

1. Undang-Undang Koperasi Nomor 25 tahun 1992 menyebutkan bahwa koperasi sekunder adalah koperasi yang didirikan oleh dan beranggotakan koperasi primer dan/atau koperasi sekunder berdasarkan kesamaan kepentingan dan tujuan efisiensi

2. koperasi primer mengalami perkembangan yang makin maju, sebagian lagi tidak mengalami kemajuan berarti atau tetap statis dan sebagian lainnya malah makin menurun.

 

 

Kesimpulan

 

Dilihat dari pelaksanaan keseluruhan fungsi integrasi vertikal, koperasi sekunder terkait dengan koperasi primer anggotanya. keterkaitan ini signifikan atau nyata namun memiliki tingkat hubungan yang lemah.

Dari sisi pelaksanaan kelompok fungsi integrasi vertikal masing-masing fungsi-fungsi kelembagaan, fungsi-fungsi usaha, dan fungsi-fungsi penunjang, koperasi sekunder terkait dengan koperasi Primer anggotanya. Keterkaitan ini juga signifikan namun tingkat keterkaitannya lemah.

 

DAFTAR PUSTAKA

Agresti. A. and Barbara. F. Statistical Methods for the Social Sciences. Prentice Hall, New Jersey.

Anonim, (1992). Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.

————- (2004). Pedoman Pengembangan Koperasi Khusus Koperasi Sekunder di DKI Jakarta Tahun 2004. Dinas Koperasi Usaha Kecil dan Menengah Provinsi DKI Jakarta, Jakarta.

————-, (2006). Solusi Koperasi & Usaha Kecil. Warta Koperasi. No. 164, Maret 2006, Jakarta.

Bayu Krisnamurthi, (1988). Perkembangan Kelembagaan dan Perilaku Usaha Koperasi Unit Desa di Jawa Barat. Suatu Kajian Cross-Section. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Djarwanto, (1999). Statistik Nonparametrik. BPFE Yogyakarta.

Donald Ary, L. Ch. Yacobs and Razavich, (1979). Introduction in Research Education 2nd Editon. Hott Rinehart and Winston, Sydney.

Earl R. Babie, (1973). Survey Research Methods. Belmont, Wadsworth Publication Co., California.

Hadi. S, (1987). Statistik II. Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta.

ICA, (1995). Farmer Organizations and Rural Cooperatives. International Cooperative Aliance (ICA) Communication, May 1995.

(//gopher.adp.wisc.edu:70)

Partomo. S.T. dan Abdul Rahman S, (2002). Ekonomi Skala Kecil/Menengah & Koperasi. Penerbit, Ghalia Indonesia, Anggota IKAPI, Jakarta.

Suwandi, (1987). Koperasi Organisasi Ekonomi yang Berwatak Sosial. Bharata, Jakarta.

Suwandi, (2005). Revitalisasi Koperasi Sekunder Nasional. Media Pengkajian Koperasi Usaha Kecil dan Menengah, No: 26 Tahun XX 2005, Jakarta.

JURNAL VOLUME 4 – AGUSTUS 2009 : 140-160

 

Review Jurnal Koperasi 23

Nama Anggota Kelompok :

  • Lestari Setyawati  (24210005)
  • Rayi Kinasih   (25210688)
  • Dewi Kencanawati   (21210903)
  • Ericha Dian N.   (22210387)
  • Syiam Noor W.   (26210798)
  • Nihlah Adawiyah (24210976)
  • Dwikie Bayu Ramadhan   (22210218)

 

 

KAJIAN PENATAAN KELEMBAGAAN KOPERASI PENERIMA BANTUAN DANA BERGULIR PENGEMBANGAN PASAR TRADISIONAL*)

Saudin Sijabat

Abstrak

Pasal 17 (ayat 1) Undang-Undang Perkoperasian Nomor 25 Tahun 1992. Dalam penjelasan disebutkan bahwa sebagai pemilik dan pengguna jasa koperasi, anggota berpartisipasi aktif dalam kegiatan koperasi.  Koperasi sebagai badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi, dalam melakukan kegiatannya berdasarkan pada prinsip koperasi, seperti tertuang dalam UU Republik Indonesia, Nomor 25 Tahun 1992, Tentang Perkoperasian. Koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat maupun sebagai badan usaha berperan serta untuk mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur dalam tata perekonomian nasional.

Definisi Koperasi. Koperasi adalah perkumpulan otonomi dari orang-orang yang 1. berhimpun secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi-aspirasi ekonomi, sosial dan budaya bersama melalui perusahaan yang mereka miliki bersama dan mereka kendalikan secara demokratis.

Nilai-nilai. Koperasi memiliki nilai-nilai menolong diri sendiri, tanggung jawab sendiri, demokratis, persamaan, kejujuran, keterbukaan, tanggung jawab sosial dan kepedulian terhadap orang lain;

Prinsip-prinsip (sebagai penjabaran nilai-nilai), prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut: a). Keanggotaan sukarela dan terbuka; b). Pengendalian oleh anggota secara demokratis; c). Partisipasi ekonomi anggota; d). Otonomi dan kebebasan; e). Pendidikan, pelatihan dan informasi; f). Kerjasama diantara koperasi; g). Kepedulian terhadap komunitas.

UU RI Nomor 25 Tahun 1992, Tentang perkoperasian. Ciri-ciri koperasi Indonesia secara umum dituangkan dalam pasal 2, 3, 4, dan 5 menetapkan prinsip koperasi Indonesia, yang terdiri dari 7 (tujuh) butir yang dituangkan dalam 2 ayat, yaitu: 1). Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka; 2). Pengelolaan dilakukan secara demokratis; 3). Pembagian Sisa Hasil Usaha dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa masing-masing anggota; 4). Pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal; 5). Kemandrian; 6). Pendidikan perkoperasian; 7). Kerjasama antar koperasi.

Managemen koperasi adalah proses mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya manusia, material dan keuangan koperasi untuk mencapai tujuan koperasi yang ditetapkan, yaitu untuk menghasilkan manfaat yang dapat digunakan oleh anggotanya dalam upaya meningkatkan kegiatan ekonominya.

Point- Point

 

1. Pasal 17 (ayat 1) Undang-Undang Perkoperasian Nomor 25 Tahun 1992.

2. Koperasi adalah perkumpulan otonomi dari orang-orang yang berhimpun secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi-aspirasi ekonomi, sosial dan budaya bersama melalui perusahaan yang mereka miliki bersama dan mereka kendalikan secara demokratis

3. Managemen koperasi adalah proses mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya manusia material dan keuangan koperasi untuk mencapai tujuan koperasi yang ditetapkan

 

 

Kesimpulan

Hasil kajian penataan kelembagaan koperasi pasar penerima program bantuan dana bergulir pengembangan pasar tradisional yang telah dilaksanakan, dapat disampaikan hal-hal sebagai berikut:

1.  Kelembagaan koperasi pasar tradisional sangat perlu didata, mengingat dari sampel yang ditinjau diberbagai propinsi, kondisi kepemilikan dan pengerjaan buku-buku administrasi sangat kurang baik.

2. Meningkatkan kemampuan managerial dan kompetensi SDM koperasi (anggota, pengurus, Badan Pengawas dan Karyawan Koperasi) untuk membangun komitmen, kapasitas dan tanggung jawabnya terhadap kegiatan koperasi pengelola pasar tradisional sesuai dengan fungsi dan peran masing-masing dalam managemen koperasi. Untuk itu perlu diintensifkan pelaksanaan bimbingan konsultasi, pendidikan dan latihan, diskusi temu usaha, pengendalian, monitoring dan evaluasi secara reguler oleh pejabat pembina koperasi. Kegiatan pembinaan ini difokuskan pada peningkatan kemampuan kelembagaan koperasi penerima bantuan dana bergulir pengembangan pasar tradisional.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, (2007). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992, Tentang Perkoperasian. Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Mengah R.I. Jakarta

————-, (2008). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008, Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. R.I. Jakarta.

————–, (2007). Peraturan Pemerintah R.I. Nomor : 9 Tahun 1995, Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Oleh Koperasi. Kementerian Negara Koperasi dan UKM R.I. Jakarta.

————-, (2007). Pembinaan Peningkatan Kualitas Pemberdayaan Kelembagaan Koperasi. Kementerian Negara Koperasi dan UKM, Deputi Bidang Kelembagaan Koperasi dan UKM. Jakarta.

————–, (2004. Kamus Istilah Pemberdayaan Koperasi dan UKM. Kementerian Negara Koperasi dan UKM. Jakarta.

—————, (2007). Peraturan Menteri Negara Koperasi dan UKM R.I. Nomor : 22/PER/M. KUKM/IV/2007, Tentang Pedoman Pemeringkatan Koperasi. Kementerian Negara Koperasi dan UKM. R.I. Jakarta.

Soediyono Reksoprayitno, (2000). Ekonomi Makro, Analis IS-LM dan Permintaan- Penawaran Agregatif. BPFE. Yokyakarta.

Halomoan Tamba, Saudin Sijabat, (2006). Pedagang kaki Lima : Entrepreneur Yang Terabaikan. Infokop No. 29 Tahun XXII 2006, Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK. Jakarta.

Saudin Sijabat, (2007). Pegadaian Versus Bank Umum (Menilai Profil Yang Potensial Untuk Menjadi Lembaga Perkreditan Rakyat). Infokop Volume 15 No. 2 Tahun 2007, Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK. Jakarta.

Saudin Sijabat, (2008). Potret Iklim Usaha Pemberdayaan UKMK. Infokop Volume 16 – September 2008, Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK. Jakarta.

Saudin Sijabat, (2008). Kajian Pengendalian Anggota pada Koperasi Dalam Rangka Peningkatan Kinerja Koperasi. Jurnal Pengkajian Koperasi dan UKM Volume 3 – September 2008, Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK. Jakarta.

Review Jurnal Koperasi 22

Nama Anggota Kelompok :

  • Lestari Setyawati  (24210005)
  • Rayi Kinasih   (25210688)
  • Dewi Kencanawati   (21210903)
  • Ericha Dian N.   (22210387)
  • Syiam Noor W.   (26210798)
  • Nihlah Adawiyah (24210976)
  • Dwikie Bayu Ramadhan   (22210218)

 

 PENGKAJIAN TENTANG DAMPAK PROGRAM STIMULAN

DENGAN POLA BERGULIR MELALUI KOPERASI

DIBIDANG PETERNAKAN, PERIKANAN DAN PERKEBUNAN*)

 

 

REVIEW JURNAL

 

Abstrak

perkebunan dengan pola bergulir untuk budidaya dan agribisnis rami, pabrik kelapa sawit skala kecil, kopi, sabut kelapa dan gambir. Tahun 2003, program stimulant dengan pola bergulir telah diberikan kepada koperasi yang bergerak dibidang peternakan sebanyak 182 koperasi, perikanan sebanyak 47 koperasi dan perkebunan sebanyak 36 koperasi. Pengkajian dampak stimulasi dana bergulir dibatasi pada KUKM yang memiliki kriteria sebagai berikut : 1) telah menerima bantuan, 2) telah mengelola bantuan tersebut, dan 3) telah mengahsilkan atau berproduksi. Untuk melihat efektivitas program dana bergulir, maka perlu dilakukan kajian evaluatif tentang dampak program secara terarah, sistematis dan konsisten.

 

Point- Point

1. Pengkajian dampak stimulasi dana bergulir dibatasi pada KUKM yang memiliki kriteria sebagai berikut : 1) telah menerima bantuan, 2) telah mengelola bantuan tersebut, dan 3) telah mengahsilkan atau berproduksi.

2. Program stimulan dengan pola bergulir belum menunjukkan dampak yang positif dibidang peternakan, perikanan dan perkebunan.

3. Dampak Program yang relatif rendah diakibatkan oleh (a) ketidaktepatan penentuan penerima bantuan, (b) kualitas pasokan bantuan dari pihak ketiga (pemasok), dan (c) umur produksi bantuan belum

memasuki fase optimum karena kurang dari 2 tahun. Sedangkan usia produksi untuk beberapa program belum memasuki masa perguliran (diantaranya sapi, pabrik kelapa sawit, pabrik pengolahan susu, kapal

ikan dan pabrik es).

 

 

Kesimpulan

 

Pengalokasian dana stimulan untuk koperasi yang bergerak di sektor perkebunan dan peternakan rata-rata dampaknya lebih signifikan bila dibandingkan dengan dampak dana stimulan yang diberikan pada koperasi yang bergerak di sektor perikanan. Secara keseluruhan dari kelima aspek dampak yang diteliti dapat menunjukkan bahwa jika dana stimulant disalurkan kepada koperasi, maka dampaknya yang ditimbulkan akan lebih besar dibanding disalurkan kepada anggota.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Bahrin. 1996. Etos Kerja, Penerapan Teknologi dan Karakteristik Sosial Ekonomi

Rumah Tangga (Kasus Tiga Desa Tertinggal di Kabupaten Bengkulu Selatan).

Program Pascasarjana IPB. Bogor.

Center, L.W. 1997. Enviromental Impact “Assement, Mc. Graw Hill Book Company, New York.

Gujarati. 2003. Econometrica. Mc. Graw Hill Book Company. Singapore.

Hedrojogi. 1997. Koperasi : Azas-azas, Teori dan Praktek. Raja Grafindo. Jakarta.

Intriligator, M.D. 1978. Econometric Models, Technique and Application. Prentice Hall

International. New Delhi.

Kasryono, F. 1984. Dinamika Pembangunan Pedesaan. Gramedia. Jakarta.

Kautsoyiannis, A. 1978. Theory of Econometrics. Harper and Row Publisher Inc. New York.

Ngadimin. 1998. Motivasi dan Partisipasi Transmigran Anggota Koperasi Unit Desa (KUD) di

Daerah Pemukiman Transmigrasi (Kasus Transmigrasi PIR Kelapa Sawit, Transmigrasi PIR

Karet dan Transmigrasi Umum di Kabupaten Indragiri Hulu Provinsi Riau). Program

Pascasarjana, IPB Bogor.

Pindick and Rubenfield. 1981. Econometric Model and Economic Forecast. Mc. Graw Hill Book

Company. Singapore.

Reksohadiprojo, S. 1997. Manajemen Koperasi. BPFE. Yogyakarta.

Salusu, J. 1996. Pengambilan Keputusan Stratejik : Untuk Organisasi Publik dan Non Profit.

Grasindo. Jakarta.

Sawit, M Husen and Dennis T. O’Brien. 1991. Applying Agricultural Household Theory to The

Analysis of Income and Employment : A Preliminary Study for Rural Jawa. Department of

Economics, University of Wollongong, Wollongong.

Sayogyo. 1982. Bunga Rampai Perekonomian Desa. Obor dan IPB. Bogor.

Singh, I. L., Squire dan J. Strauss. 1986. Agricultural Household Models : Extension, Application

and Policy. The John Hopkins University Press. Baltimore.

Swasono, S. E. 1985. Koperasi Didalam Orde Baru “Ekonomi Indonesia”: Mencari Bentuk,

Posisis dan Realitas. Universitas Indonesia. Jakarta.

 

Review Jurnal Koperasi 21

Nama Anggota Kelompok :

  • Lestari Setyawati  (24210005)
  • Rayi Kinasih   (25210688)
  • Dewi Kencanawati   (21210903)
  • Ericha Dian N.   (22210387)
  • Syiam Noor W.   (26210798)
  • Nihlah Adawiyah (24210976)
  • Dwikie Bayu Ramadhan   (22210218)

KAJIAN DAMPAK KOPERASI TERHADAP ANGGOTANYA *)

Achmad H. Gopar

 

 

Abstrak

Pengembangan dan pengaturan organisasi dan managemen yang dimulai dengan mewujudkan ”aturan main” tersebut perlu terus dikembangkan sehingga terwujud suatu sistem managemen koperasi yang khas dan tepat guna.

Dari segi permodalan koperasi pedesaan masih memerlukan penanganan yang lebih baik lagi. Terutama dalam hal pemanfaatan modal yang tersedia agar menghasilkan produktivitas dan efisiensi yang semaksimal mungkin. Dalam hal pencarian sumber dana eksternal serta memobilisasikannya guna memperkuat permodalan, maka perlu dilakukan pengkajian yang lebih spesifik dan terfokus. Dengan demikian tercipta suatu sistem keuangan koperasi yang mandiri. Peningkatan produktivitas permodalan dilakukan dengan meningkatkan perputaran modal yang ada. Karena hal tersebut menyebabkan frekuensi dan arus penciptaan marjin keuntungannya semakin meningkat. Peningkatan efisiensi permodalan dilakukan melalui perbaikan sistem managemen koperasi dan sistem operasional yang digunakan oleh anggota dalam mengelola aktivitas ekonominya.

Mengingat adanya beberapa peraturan/perundangan yang menata sistem keuangan, maka diperlukan upaya dari suprastruktur (terutama dari pemerintah) untuk mengembangkan sistem keuangan koperasi. Untuk itu semangat yang dikandung oleh UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang sistem keuangan koperasi perlu dikaji lebih mendalam lagi. Hasil kajian dimaksud diharapkan dapat berdaya guna dan berhasil guna bagi kehidupan perkoperasian.

Pengembangan organisasi dapat dilakukan melalui pengembangan organisasi internal dan aspek eksternal, terutama kemitraan. Secara umum dapat dikatakan bahwa kehadiran koperasi di pedesaan telah dirasakan dampaknya oleh anggota. Dampak berupa kemanfaatan umumnya dirasakan melalui pelayanan-pelayanan yang diberikan oleh koperasi, dinilai responden sebagai cukup baik. Sebagai misalnya adalah penjualan komoditi dengan harga yang wajar, kualitas yang memadai dan tersedia pada waktu yang diperlukan. Pelayanan koperasi dalam memberikan informasi pasar dan kepastian harga ternyata cukup bermanfaat bagi anggota. Dalam hal keperluan modal dan pinjaman ternyata juga telah dirasakan manfaatnya bagi para anggota. Terutama dalam hal kemudahan yang diperoleh anggota dalam kecepatan proses dan tingkat bunga. Pelayanan tersebut ternyata akan semakin dirasakan dengan meningkatnya partisipasi. Semakin aktif partisipasi anggota semakin besar manfaat yang dirasakan oleh anggota tersebut.

Kemanfaatan koperasi bagi anggota selain kemanfaatan langsung usaha dan kegiatan ekonomi di tingkat anggotanya, juga perlu dikembangkan lebih lanjut pengembangan kemanfaatan koperasi dari sistem patron yang ada dalam koperasi. Untuk itu diperlukan kreativitas dan model kegiatan yang menggali potensi anggota maupun non anggota. Pada akhirnya kemanfaatannya akan jatuh kepada anggota.

Point-Point

 

1. permodalan koperasi pedesaan masih memerlukan penanganan yang lebih baik lagi. Terutama dalam hal pemanfaatan modal yang tersedia agar menghasilkan produktivitas dan efisiensi yang semaksimal mungkin

2. Peningkatan produktivitas permodalan dilakukan dengan meningkatkan perputaran modal yang ada.

3. Pengembangan organisasi dapat dilakukan melalui pengembangan organisasi internal dan aspek eksternal, terutama kemitraan.

Kesimpulan

Mengingat adanya beberapa peraturan/perundangan yang menata sistem keuangan, maka diperlukan upaya dari suprastruktur (terutama dari pemerintah) untuk mengembangkan sistem keuangan koperasi. Untuk itu semangat yang dikandung oleh UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang sistem keuangan koperasi perlu dikaji lebih mendalam lagi. Hasil kajian dimaksud diharapkan dapat berdaya guna dan berhasil guna bagi kehidupan perkoperasian. Adanya berbagai peluang untuk pengembangan usaha sebagai konsekuensi dari berlakunya berbagai peraturan pemerintah yang sangat mendukung berkembangnya koperasi pedesaan (terutama UU Nomor 25 Tahun 1992) perlu diantisipasi oleh koperasi untuk lebih mengembangkan organisasi dan usahanya.

Sehubungan dengan hal tersebut koperasi sebagai badan usaha perlu lebih mengembangkan kegiatannya. Dampak kepada anggota akan sesuai dengan peluang yang ada dalam peraturan/perundangan. Kiat-kiat yang dapat dilaksanakan koperasi untuk meningkatkan dampak koperasi perlu ditemukenali, dikembangkan dan dilaksanakan dengan baik. Dari penelitian ini setidaknya ada beberapa kiat yang dapat dilakukan oleh koperasi, antara lain adalah: (1) Meningkatkan jumlah anggota, (2) Pemupukan modal sendiri, (3) Peningkatan volume usaha, (4) Penciptaan penanggulangan tunggakan kredit, (5) Penyertaan anggota dalam proses perencanaan, (6) Penciptaan keterkaitan usaha anggota, (7) Rapat Anggota Tahunan, dan (8) Pengawasan oleh anggota.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Draper, N .R. and H. Smith, (1981). Applied Regresion Analysis. New York: John Wiley & Sons.

Gilbert, N. and H. Specht, (1977). Planning for Social Welfare; Issues, Model, and Tasks. New Jersey: Pretice-Hall, Inc..

————-, (1992). Undang Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Jakarta: Pemerintah Koperasi.

Welch, S. and J. Comer, (1988). Quantitative Methods for Public Administration, Techniques and Applications. Chicago: The Dorsey Press.

Kajian Dampak Koperasi Terhadap Anggotanya (Achmad H. Gopar)

Review Jurnal Koperasi 20

Nama Anggota Kelompok :

  • Lestari Setyawati  (24210005)
  • Rayi Kinasih   (25210688)
  • Dewi Kencanawati   (21210903)
  • Ericha Dian N.   (22210387)
  • Syiam Noor W.   (26210798)
  • Nihlah Adawiyah (24210976)
  • Dwikie Bayu Ramadhan   (22210218)

 

 

ANALISA KOMPARATIF ANTARA KOPERASI SIMPAN PINJAM (KSP) DAN KOPERASI KREDIT (KOPDIT)

Riana Panggabean

 

 

Abstrak

Ketika krisis ekonomi melanda di Indonesia, koperasi dapat bertahan dan bahkan berkembang, khususnya koperasi simpan pinjam.  Ini merupakan bukti bahwa koperasi perlu diperkuat dan dipertahankan sebagai lembaga keuangan mikro agar selalu mampu melayani anggota dan masyarakat disekitarnya.

Koperasi simpan pinjam yang dikembangkan oleh Kementerian Negara Koperasi dan UKM ada dua bentuk yaitu (1) Koperasi Simpan Pinjam disebut KSP melaksanakan kegiatan usahanya hanya usaha simpan pinjam dan (2) Unit Usaha Simpan Pinjam disebut USP adalah unit usaha yang dibentuk dalam suatu koperasi sebagai bagian dari kegiatan usaha koperasi melakukan kegiatan usaha simpan pinjam (PP No 9 Thn 1995).

Selain koperasi tersebut koperasi kredit (credit union) mulai timbul di Indonesia pada tahun 1950 adalah koperasi yang mempunyai kegiatan simpan pinjam sama dengan KSP/USP yang dikembangkan oleh Kementerian Negara Koperasi dan UKM tersebut.

Prinsip koperasi merupakan esensi dari dasar kerja koperasi sebagai badan usaha dan merupakan ciri khas dan jati diri koperasi yang membedakannya dari usaha lain. Yang dimaksud dengan prinsip-prinsip koperasi adalah (1) Keanggotaan sukarela dan terbuka, (2) Pengendalian oleh anggota secara demokratis, (3) Partisipasi ekonomi anggota, (4) Otonomi dan kebebasan, (5) Pendidikan dan pelatihan serta informasi, (6) Kerjasama antar koperasi dan (7) Kepedulian terhadap komunitas (Internasional Co-operative Alliance/ICA).

Menurut Undang Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian disampaikan bahwa prinsip koperasi merupakan satu kesatuan dan tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan berkoperasi.

 

Point-Point

 

1. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 Tentang Pelakanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam

2. Koperasi simpan pinjam yang dikembangkan oleh Kementerian Negara Koperasi dan UKM ada dua bentuk yaitu (1) Koperasi Simpan Pinjam disebut KSP melaksanakan kegiatan usahanya hanya usaha simpan pinjam dan (2) Unit Usaha Simpan Pinjam disebut USP adalah unit usaha yang dibentuk dalam suatu koperasi sebagai bagian dari kegiatan usaha koperasi melakukan kegiatan usaha simpan pinjam (PP No 9 Thn 1995).

3. Prinsip koperasi merupakan esensi dari dasar kerja koperasi sebagai badan usaha dan merupakan ciri khas dan jati diri koperasi yang membedakannya dari usaha lain.

 

Kesimpulan

Dari penjelasan diatas kesimpulan kajian ini adalah:

1). Ada perbedaan antara KSP dan kopdit dalam mengimplementasikan prinsip-prinsip koperasi, Perbedaannya terletak pada: (a) Penetapan persyaratan anggota pada prinsip koperasi pertama, (b) Pelaksanaan pendidikan pada prinsip koperasi kelima, (c) Kerjasama horizontal, vertikal dan pelaksanaan interlending pada prinsip ke-6 dan; (d) Kewajiban membayar pajak pada prinsip koperasi ke-7.

2). Penyebab kopdit lebih baik mengimplementasikan prinsip koperasi: (a) Anggota adalah pemilik koperasi yang perlu dilayani dengan sebaik-baiknya, (b) Pendidikan adalah suatu sarana meningkatkan kemampuan dan motivasi berkoperasi, (c) Kerjasama antar kopdit merupakan wahana saling membantu antar kopdit dan sumber peningkatan usaha dalam meningkatkan pelayanan kepada anggota, (d) Kopdit memiliki standar operasional pembinaan yang jelas.

 

DAFTAR PUSTAKA

——————-, (1992). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian. Biro Hukum dan Organisasi Departemen Koperasi. Jakarta.

——————, (2004). Peraturan Pemerintah Nomor 9Tahun 1995 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi. Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil, dan Menengah Republik Indonesia. Jakarta.

Duwi Pryanto, (2008). Mandiri Belajar SPSS. Media Kom. Yogyakarta.

International Co-operative Alliance, (2001). Jatidiri Koperasi. ICA Co-operative Identity Statement Prinsip-prinsip Koperasi Untuk Abad Ke-21 Terjemahan Pengantar Ibnoe Soedjono. LSP2I.

Muhammad Yunus, (2007). Bank Kaum Miskin. Kisah Yunus dan Grameen Bank Memerangi Kemiskinan).

Review Jurnal Koperasi 19

Nama Anggota Kelompok:

• Lestari Setyawati (24210005)

• Dewi Kencanawati (21210903)

• Rayi Kinasih (25210688)

• Ericha Dian N. (22210387)

• Syiam Noor W. (26210798)

• Nihlah Adawiyah (24210976)

• Dwikie Bayu Ramadhan (22210218)

PENELITIAN DAMPAK KEBERADAAN PASAR MODERN

(SUPERMARKET DAN HYPERMARKET)

TERHADAP USAHA RITEL KOPERASI/WASERDA DAN PASAR TRADISIONAL

REVIEW JURNAL

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah (1) untuk mengidentifikasi posisi pasar tradisional dan modern pasar dari aspek kelembagaan dan peraturan yang ada, (2) untuk mengetahui dampak keberadaan pasar modern untuk bisnis ritel dikelola oleh koperasi, tradisional pasar dan usaha kecil dan menengah dan (3) menyusun konsep pada pemberdayaan usaha ritel yang diterapkan oleh koperasi, pasar tradisional dan kecil dan perusahaan menengah.

Masalah utama dari penelitian ini adalah (1) posisi pasar tradisional dan modern pasar dilihat dari aspek institusional dan peraturan yang ada, (2) dampak keberadaan pasar modern untuk bisnis ritel dikelola oleh koperasi, tradisional pasar dan usaha kecil dan menengah dilihat dalam aspek volume usaha, menjual Harga nomor pekerja, dan faktor-faktor yang m empengaruhi perilaku konsumen dalam menentukan untuk belanja dan (3) konsep untuk memberdayakan bisnis ritel yang diterapkan oleh koperasi, pasar tradisional dan kecil dan menengah dampak perusahaan terhadap volume bisnis pasar tradisional. Antara sebelum dan setelah adanya modern sangat berbeda, di mana bisnis volume pasar tradisional lebih tinggi sebelum adanya pasar modern, sementara variabel harga jual dan jumlah pekerja hanya sedikit perbedaan.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah (1) keberadaan pasar modern telah shreatened pasar tradisional di mana, telah dikembangkan oleh 31,4% (AC Nielsen) dan telah mengembangkan negatif sebesar 8%, (2) bisnis volume pasar tradisional mengalami penurunan karena keberadaan pasar modern. Tidak ada perbedaan signifikan dalam jumlah pekerja dan harga jual komoditas dan (3) keputusan untuk berbelanja di pasar modern sangat dipengaruhi oleh faktor: kenyamanan, sanitasi, ketersediaan fasilitas lainnya, dan konsumen keputusan untuk berbelanja di pasar tradisional sangat dipengaruhi oleh jarak dan belanja kebiasaan.

Point-Point

Latar Belakang

Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 220 juta, ditambah kunjungan wisatawan manca negara sekitar 5 juta per tahun merupakan pasar yang empuk bagi peritel nasional maupun peritel asing. Memang banyaknya jumlah penduduk merupakan faktor utama berhasil tidaknya pasar ritel.

Tujuan dan Manfaat

a. Tujuan

Kegiatan penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk :

(1) Mengidentifikasi posisi pasar tradisional dan pasar modern (supermarket dan hypermarket) dari aspek kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

(2) Mengetahui dampak kehadiran pasar modern (supermarket dan hypermarket) terhadap usaha ritel yang dikelola oleh koperasi/waserda, pasar tradisional, dan PKM;

(3) Menyusun suatu konsep pemberdayaan usaha perdagangan ritel yang dapat diterapkan koperasi/waserda, pasar tradisional, dan PKM.

b. Manfaat Penelitian ini bermanfaat untuk :

(1) Mengetahui kondisi atau potret pasar modern, waserda koperasi dan pasar tradisonal.

(2) Mengevaluasi dan mendistribusikan dampak keberadaan pasar modern.

(3) Menyusun konsep pengembangan waserda koperasi dalam mengelola usaha ritel, dikaitkan dengan keberadaan pasar modern dan pasar tradisional.

Pengertian Pasar Tradisional dan Pasar Modern

Selanjutnya Sinaga (2006) mengatakan bahwa pasar modern adalah pasar yang dikelola dengan manajemen modern, umumnya terdapat di kawasan perkotaan, sebagai penyedia barang dan jasa dengan mutu dan pelayanan yang baik kepada konsumen (umumnya anggota masyarakat kelas menengah ke atas). Pasar modern antara lain mall, supermarket, departement storeshopping centre, waralaba, toko mini swalayan, pasar serba ada, toko serba ada dan sebagainya. Barang yang dijual disini memiliki variasi jenis yang beragam. Selain menyediakan barang-barang lokal, pasar modern juga menyediakan barang impor. Barang yang dijual mempunyai kualitas yang relatif lebih terjamin karena melalui penyeleksian terlebih dahulu secara ketat sehingga barang yang rijek/tidak memenuhi persyaratan klasifikasi akan ditolak.

Secara kuantitas, pasar modern umumnya mempunyai persediaan barang di gudang yang terukur. Dari segi harga, pasar modern memiliki label harga yang pasti (tercantum harga sebelum dan setelah dikenakan pajak).

Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis sebagaimana diuraikan di atas, penelitian ini menghasilkan beberapa kesimpulan sebagai berikut :

(1) Beberapa kebijakan Pemerintah telah dikeluarkan untuk menata pengelolaan perpasaran, baik pasar modern maupun pasar tradisional. Implementasi kebijakan ini menuntut komitmen lebih besar agar dapat dilaksanakan secara konsisten.

(2) Secara makro, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kehadiran pasar modern telah mengancam eksistensi pasar tradisional. Fakta ini antara lain diungkap dalam penelitian AC Nielson yang menyatakan bahwa pasar modern telah tumbuh sebesar 31,4%. Bersamaan dengan itu, pasar

tradisional telah tumbuh secara negatif sebesar 8%. Berdasarkan kenyataan ini maka pasar tradisional akan habis dalam kurun waktu sekitar 12 tahun yang akan datang, sehingga perlu adanya langkah preventif untuk menjaga kelangsungan pasar tradisional termasuk kelangsungan usaha perdagangan (ritel) yang dikelola oleh koperasi dan UKM.

(3) Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa dampak keberadaan pasar modern terhadap pasar tradisional adalah dalam hal penurunan omzet penjualan. Dengan menggunakan uji beda pada taraf signifikansi a = 0,05, hasil analisis menunjukkan bahwa dari 3 variabel yang diteliti, variabel

omzet penjualan pasar tradisional menunjukkan perbedaan yang signifikan antara sebelum dan sesudah hadirnya pasar modern dimana omzet setelah ada pasar modern lebih rendah dibandingkan sebelum hadirnya pasar modern. Sedangkan variabel lainnya, yaitu jumlah tenaga kerja dan hargajual barang tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan.

Daftar Pustaka

Nielson, C. 2003. Modern Supermarket (Terjemahan AW Mulyana). Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta : Universitas Indonesia.

Sinaga, Pariaman. 2004. Makalah Pasar Modern VS Pasar Tradisional. Kementerian Koperasi dan UKM. Jakarta : Tidak Diterbitkan.

(Footnotes)

1 Hasil penelitian kerjasama antara Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK, Kementerian Koperasi dan UKM dengan PT Solusi Di

namika Manajemen, tahun 2005

2 Bekerja pada Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK

Review Jurnal Koperasi 18

Nama Anggota Kelompok :

• Lestari Setyawati (24210005)

• Dewi Kencanawati (21210903)

• Rayi Kinasih (25210688)

• Ericha Dian N. (22210387)

• Syiam Noor W. (26210798)

• Nihlah Adawiyah (24210976)

• Dwikie Bayu Ramadhan (22210218)

KEDUDUKAN DAN KIPRAH KOPERASI DALAM MENDUKUNG

PEMBERDAYAAN UMKM

 

Slamet Subandi

Abstrak

Unability koperasi menjadi solusi institusi andalan UKM pemberdayaan bukan karena konsep dasar yang salah lembaga koperasi tapi itu karena pendekatan pembangunan yang secara langsung dipengaruhi oleh politik kebijakan dan ekonomi dunia. Globalisasi merupakan salah satu faktor yang harus mendorong pengembangan koperasi (itu adalah sebuah tantangan sehingga kelompok UKM untuk bersatu dalam rangka meningkatkan skala usaha dan efisiensi), namun yang kecenderungan menjadi kendala untuk keberlanjutan pengembangan koperasi.

Solusi yang diperlukan untuk memberdayakan koperasi komitmen yang kuat dan nyata dengan revitalisasi koperasi dan penegakan kegiatan pembiayaan. Alternatif dalam memurnikan institusi koperasi dapat dilakukan dengan cara:

1). Meningkatkan dan menyelesaikan hukum koperasi (mempercepat ratifikasi koperasi RUU);

2). Memberikan penyuluhan, pelatihan dan pendidikan kepada dewan direksikoperasi, manajer dan metode sehingga mereka benar-benar mengetahui dan mengerti tentangkoperasi benar-benar dan sungguh-sungguh;

3). Yang tepat, terarah, terencana dan berkesinambungan sosialisasi / promosi melalui media;

4). Menyiapkan standar yang sesuai dan metode subjek koperasi untuk mendukung kader koperasi terbentuk di dasar, pendidikan menengah dan tinggi;

5). Memberikan sebagian besar promosi dan tanggung jawab pada koperasi pembangunan untuk gerakan koperasi itu sendiri.

Point-Point

Pendahuluan

Sesuai dengan devinisi negara, tujuan bernegara dan ketentuan-ketentuan adanya suatu negara, maka perhatian pemerintah terhadap kehidupan rakyatnya sangat diperlukan, karena rakyat merupakan salah satu komponen berdirinya suatu Negara. Bagi Indonesia, rakyat bukan hanya sebagai indikator keberadaan negara, tetapi juga merupakan penegak kedaulatan yang menduduki tempat paling tinggi dalam konstitusi. (UUD 1945). Keinginan untuk mensejahterakan semua rakyat juga merupakan amanat konstitusi dan oleh karena sebagian besar (87,4%) rakyat Indonesia adalah kelompok usaha mikro, usaha kecil dan usaha menengah (UMKM), maka pemberdayaan ekonomi rakyat dapat diidentikkan dengan pemberdayaan UMKM.

Keinginan menciptakan kesejahteraan seluruh anggota masyarakat dalam bentuk pemberdayaan ekonomi rakyat melalui perkuatan UMKM sudah diikrarkan sejak awal masa kemerdekaan dan untuk itu telah dilakukan berbagai program pembangunan, walaupun sampai sekarang ini masih ada sekelompok masyarakat yang tergolong miskin. Belum optimalnya keberhasilan pembangunan ekonomi dari rezim ke rezim yang lain nampaknya tidak terlepas dari konsepsi dasar pembangunan yang belum sepenuhnya mengutamakan kepentingan pemberdayaan ekonomi rakyat. Indikator dari kondisi tersebut antara lain terlihat dari semakin menyurutnya peranan koperasi dalam pembangunan ekonomi, bahkan sebagian ekonom sekarang malah mempertanyakan apakah koperasi merupakan alternatif kelembagaan uuntuk memberdayakan UMKM, atau hanya merupakan salah satu solusi. Timbulnya pertanyaan tersebut dari satu sisi terlihat wajar-wajar saja karena banyak kegiatan-kegiatan yang jika dilakukan oleh koperasi tidak berhasil (keberhasilannya lebih kecil dibandingakan jika dilaksanakan oleh pihak-pihak lain). Pertanyaan terlihat janggal, memperhatikan bahwa keberadaan dan kiprah koperasi merupakan penjabaran dari ekonomi kekeluargaan yang secara tegas telah dinyatakan dalam UUD 1945.

Memang banyak kegiatan yang dilakukan oleh koperasi belum mencapai keberhasilan seperti yang dilakukan oleh badan usaha lainnya, tetapi dalam hal ini perlu dipertimbangkan juga banyaknya faktor yang dapat mendorong atau menghambat kegiatan usaha koperasi, Faktor-faktor tersebut antara lain, sebagian pengelola koperasi belum memiliki kepekaan bisnis (sense of bisnis), karena pada awalnya mereka memang bukan orang-orang profesional. Demikian juga jaringan bisnis koperasi dapat dikatakan hampir tidak berperan, serta hal-hal lainnya yang berhubungan dengan kondisi lingkungan ekonomi dan profesionalisme. Demikian juga faktor lingkungan (eksternal) yang berkaitan dengan masalah kebijaksanaan pemerintah, serta lingkungan usaha ekonomi yang dibangun oleh banyak pelaku usaha lainnya, tidak dapat diharapkan berperan untuk mendukung keberhasilan koperasi.

Faktor lain yang menyebabkan tidak konsistennya penilaian terhadap keberhasilan pembangunan koperasi adalah “Belum adanya standar baku tentang indikator keberhasilan koperasi, sehingga orang menilai koperasi dari indikator yang dibangunnya sendiri. Selanjutnya kajian mungkin harus diarahkan pada faktor yang mempengaruhi keberhasilan koperasi terutama yang terkait dengan hubungan koperasi dan anggotanya sebagai modal utama koperasi antara lain ; Faktor perekat. Dalam suatu koperasi faktor perekat yang sangat mendasar adalah kesamaan (homogenitas) kepentingan ekonomi dari para anggotanya. Signifikansi faktor ini tergambar jelas diperhatikan adanya fenomena bahwa seorang anggota yang telah berhasil dalam usahanya cenderung akan meninggalkan koperasi walaupun sebelumnya keberhasilan orang tersebut didukung sepenuhnya oleh koperasi. Orang tersebut malah merasa tidak memerlukan koperasi lagi.

Peningkatan kemampuan menyebabkan orang berubah kepentingannya maka orang tersebut dapat pindah ke koperasi lain, yang dapat memenuhi kepentingannya. Dengan kata lain faktor homogenitas kepentingan anggota merupakan kata kunci dalam membangun koperasi.

Anggaran Dasar (AD) koperasi merupakan cerminan dari kepentingan anggota. Tetapi sekarang AD diseragamkan (oleh instansi pemerintah), yang berarti menyeragamkan kepentingan anggota. Hal ini dimaksudkan agar AD yang disusun sesuai dengan peraturan. Tetapi perlu diingat bahwa perlakuan tersebut merupakan kesalahan, oleh sebab itu harus diperbaiki. Disini pihak yang berwenang boleh saja menjadi konsultan dalam penyusunan AD, tetapi sebagai konsultan yang harus mampu melihat kepentingan anggota dari suatu koperasi yang akan dibentuk.

Tidak ada penugasan khusus kepada instansi pemerintah sebagai pembina untuk menjadikan koperasi sebagai sebuah sistem. Kenyataan juga koperasi sering dipilih tetapi kerap kali menjadi pilihan yang tidak tepat. Pada akhirnya koperasi selalu di identikan sebagai badan usaha yang marginal. Perkembangan koperasi mengalami pasang surut sesuai dengan intensitas pembinaan yang dipengaruhi oleh banyak aspek. Pada akhirnya timbul pertanyaan mengapa sampai sekarang peran dan kiprah koperasi di Indonesia sulit dikembangkan.

Asas dan Prinsip koperasi

Pembangunan atau pemberdayaan koperasi idealnya harus dimulai dengan memperhatikan asas dan prinsip-prinsip koperasi. Asas gotong-royong dan kekeluargaan yang dianut oleh koperasi sudah secara tegas dinyatakan dalam amanat konstitusi. Sedangkan prinsip-prinsip dasar koperasi sebagian besar sudah sesuai dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat di Indonesia sekarang ini (yang diwarnai dengan ketimpangan dan banyaknya jumlah orang miskin dan pengangguran).

1). Pengertian koperasi

(1). Dalam ILO recommendation nomor 127 pasal 12 (1) dirumuskan bahwa koperasi adalah suatu kumpulan orang-orang yang berkumpul secara sukarela untuk berusaha bersama mencapai tujuan bersama melalui organisasi yang dikontrol secara demokratis, bersama-sama berkontribusi sejumlah uang dalam membentuk modal yang diperlukan untuk mencapai tujuan bersama tersebut dan bersedia turut bertanggung jawab menanggung resiko dari kegiatan tersebut, turut menikmati manfaat usaha bersama tersebut, sesuai dengan kontribusi permodalan yang diberikan orang-orang tersebut, kemudian orang-orang tersebut secara bersama-sama dan langsung turut memanfaatkan organisasi tadi.

(2). Menurut Internasional Cooperative Allience (ICA)

Koperasi adalah perkumpulan dari orang-orang yang bersatu secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan

aspirasi-aspirasi ekonomi, sosial dan budaya bersama, melalui perusahaan yang mereka milik bersama dan mereka kendalikan secara demokratis,

(3). Menurut Undang-Undang nomor 25 tahun 1992 (Pasal 1 ayat 1)

koperasi adalah Badan usaha yang beranggotaan orang-orang yang berkumpul secara sukarela (pasal 5 ayat I a.) untuk mencapai kesejahteraaan (pasal 3) memodali bersama (pasal 4.1) dikontrol secara demokratis (pasal 5 ayat b) orang-orang itu disebut pemilik danpangguna jasa koperasi yang bersangkutan (pasal 17 ayat 1)

(4). Dari berbagai pengertian koperasi Ibnu Soedjono (2000), salah seorang pakar koperasi yang pemikiran-pemikirannya perlu dipahami mendefinisikan koperasi sebagai: koperasi adalah perkumpulan otonom dari orang-orang yang bersatu secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi-aspirasi ekonomi, sosial dan budaya bersama melalui perusahaan yang mereka miliki bersama dan mereka kendalikan secara demokratis.

2). Nilai- Nilai koperasi

Nilai-nilai dalam koperasi merupakan salah satu aspek penting yang membedakan koperasi dengan badan usaha ekonomi lainnya, karena dalam nilai-nilai koperasi terkandung unsur moral dan etika yang tidak semua dimiliki oleh badan usaha ekonomi lainnya, Dalam hal ini Ibnu Soedjono berpendapat bahwa, koperasi-Koperasi berdasarkan nilai-nilai menolong diri sendiri, tanggung jawab sendiri, demokrasi, persaingan, keadilan dan kesetiakawanan. Mengikuti tradisi para pendirinya, anggota koperasi percaya pada nilai-nilai etis, dari kejujuran, keterbukaan, tanggung jawab sosial serta kepedulian terhadap orang lain.

Prinsip menolong diri sendiri (sel-help) percaya pada diri sendiri (self-reliance) dan kebersamaam (cooperation) Dalam lembaga koperasi akan dapat melahirkan efek sinergis. Efek ini akan menjadi suatu kekuatan yang sangat ampuh bagi koperasi untuk mampu bersaing dengan lembaga ekonomi lainnya, apabila para anggota koperasi mengoptimalkan partisipasinya, baik partisipasi sebagai pemilik maupun partisipasi sebagai pemakai.

3). Prinsip-prinsip koperasi

ICA (1999) merumuskan prinsip-prinsip koperasi adalah :

Pertama : Koperasi adalah perkumpulan sukarela, terbuka bagi semua orang yang mampu menggunakan jasa-jasa perkumpulan dan

bersedia menerima tanggung jawab keanggotaan tanpa diskriminasi gender, sosial, rasial, politik dan agama.

Kedua : koperasi adalah perkumpulan demokratis, dikendalikan oleh para anggotanya yang secara akfif berpartisipasi dalam

penetapan kebijakan-kebijakan perkumpulan dan mengambil keputusan-keputusan

Ketiga : Anggota koperasi menyumbang secara adil dan mengendalikan secara demokratis, modal dari koperasi mereka

Keempat : Koperasi bersifat otonom, merupakan perkumpulan yang menolong diri sendiri dan dikendalikan oleh anggota-anggotanya

Kelima : Koperasi menyelenggarakan pendidikan bagi anggotanya, para wakil yang dipilih, manajer dan karyawan, agar mereka

dapat memberikan sumbangan yang efektif bagi perkembangan koperasi

Keenam : Koperasi dapat memberikan pelayanan paling efektif kepada para angggotanya dan memperkuat gerakan koperasi dengan

cara kerjasama melalui struktur lokal, nasional, regional, dan internasional

Ketujuh : Koperasi bekerja bagi pembangunan yang berkesinambungan dari komunitas mereka melalui kebijakan yang disetujui

anggotanya.

4). Keanggotaan koperasi

Berdasarkan pengertian koperasi yang dikemukakan oleh ICA di atas maka : “Anggota koperasi adalah orang-orang yang berkumpul, bersatu secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi-aspirasi ekonomi, sosial dan budaya bersama, melalui perusahaan yang mereka miliki bersama dan mereka kendalikan secara demokratis”.

Dalam suatu organisasi yang memiliki karakteristik suatu kelembagaan seperti koperasi, di pihak yang satu keberadaan anggota adalah sebagai pemilik berkewajiban memberikan konstribusi pada organisasinya. Dipihak yang lain anggota sebagai pemakai mempunyai hak untuk memperoleh insentif atau manfaat dari organisasi koperasi.

Dengan kedua fungsi tersebut, anggota koperasi mempunyai kedudukan sentral dalam koperasi sebagai suatu kelembagaan ekonomi. Dilihat dari pengertian dasar, sifat, ciri keanggotaan, dan hak, serta kewajiban anggota dalam organisasi koperasi, maka kedudukan anggota dapat diuraikan menjadi :

(1). Pemilik, pemakai, sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam organisasi koperasi (melalui Rapat Anggota Tahunan).

(2). Orang-orang yang mempunyai kesepakatan berdasarkan kesadaran rasional dan utuh yang secara bersama-sama memenuhi kepentingan ekonomi dan sosial mereka, baik sebagai konsumen, sebagai produsen, maupun sebagai anggota masyarakat yang hidup dan berinteraksi dalam suatu komunal.

(3). Keanggotaannya bersifat sukarela dan terbuka untuk setiap warga negara yang memenuhi persyaratan-persyaratan spesifikasi koperasinya

(4). Keanggotaannya melekat pada diri pribadi orang-orangnya;

a. memiliki rasa senasib dalam upaya memenuhi kepentingan ekonomi dan sosialnya,

b. memiliki keyakinan bahwa hanya dengan bergabung bersama-sama maka kepentingan ekonomi dan sosialnya secara bersama-sama akan dapat diselesaikan.

c. memiliki kesamaan dalam jenis kepentingan ekonominya.

(5). Keanggotaan koperasi merupakan keputusan berdasarkan tingkat kesadaran rasional dari orang-orang yang ; a) merasa cocok bila mereka melakukan kegiatan tolong-menolong khususnya dalam bidang ekonomi, b) merasa kuat bila mereka bersatu menjadi anggota Koperasi, dan c) merasa tidak perlu bersaing dengan kegiatan usaha koperasinya.

5). Organisasi dan koperasi

Organisasi sering diartikan sebagai interaksi dan kerja sama antara dua orang/pihak atau lebih untuk mencapai tujuan tertentu, di dalam sebuah perusahaan, kerja sama ini mutlak diperlukan karena kegiatan dalam perusahaan sangat kompleks, beraneka ragam, dan saling terkait antara yang satu dan yang lain. Kerja sama ini tidak terbatas antar karyawan di dalam perusahaan tetapi juga dengan berbagai pihak di luar perusahaan yang terkait dengan kegiatan perusahaan.

Organisasi koperasi dibentuk atas dasar kepentingan dan kesepakatan anggota pendirinya dan mempunyai tujuan utama untuk lebih mensejahterakan anggotanya. Sistem kontribusi insentif sangat relevan dalam suatu organisasi koperasi. Sistem tersebut dapat menjamin eksistensi koperasi dan sekaligus merangsang anggota untuk lebih berpartisipasi secara aktif. Dalam pembicaraan mengenai organisasi di masyarakat, khususnya di daerah pedesaan, kiranya lebih dulu perlu dipahami bahwa basis terendah dalam kehidupan pedesaan adalah “desa”, atau kampung dusun-dusun kecil yang penduduknya hidup berkelompok dengan keterikatan/ketergantungan antar individu yang sangat erat. Komunitas penduduk berlangsung dalam rangka membangun kehidupan yang pada awalnya bersifat subsistem. Meskipun demikian (pola hidup subsistem), kaitan pemasaran sudah ada dengan daerah urban yang lebih modern. Dalam hal ini yang dikenal sebagai pedesaan adalah kumpulan rumah tangga petani yang secara tradisional mengambil keputusan-keputusan produksi, konsumsi, dan investasi. Di sektor perkotaan kegiatan yang sama dilakukan oleh lembaga perusahaan dan rumah tangga secara terpisah dengan tujuan memaksimumkan penghasilan perusahaan. Oleh sebab itu yang diperlukan adalah aktualisasi dari prinsip-prinsip tersebut sebagai berikut :

(1). Kelompok koperasi (Cooperative Groups); Bahwa koperasi adalah kelompok orang yang mempunyai tujuan dan kepentingan yang sama yaitu meningkatkan kemampuan ekonomi secara berkelompok dengan harapan akan memperbesar skala ekonomi mereka yang berdampak akhir pada meningkatnya efisien dari kegiatan (jual-beli) yang dilakukannya bersama-sama.

(2). Menolong diri sendiri (Self Help Organization); Bahwa dengan berkelompok mereka akan menjadi lebih besar dan lebih kuat posisinya dalam pasar, sehingga mereka dapat menolong diri sendiri.

(3). Perusahaan koperasi (Cooperative Enterprises) dan; Bahwa koperasi merupakan perusahan yang jika dalam kegiatan usahanya mendapatkan nilai lebih maka kelebihan yang diterima dapat dikembalikan lagi kepada anggotanya dan atau dapat dijadikan tambahan modal usaha serta investasi.

(4). Meningkatkan keuntungan ekonomi anggotanya (member promotion): Tujuan berkoperasi adalah kebersamaan dalam rangka meningkatkan efisiensi dengan memperbesar skala ekonomi (economic of scale) , mengurangi resiko usaha (down sizing) dan kontribusi insentif (incentive contribution).

Dari prinsip dan tujuan koperasi tersebut, selama ini baru sangat sedikit yang dapat diakomendir oleh gerakan koperasi, bahkan sebaliknya ada unsur-unsur yang sama sekali belum dapat dilaksanakan seperti menolong diri sendiri dan efisiensi biaya. Kondisi yang demikian sering dikaitkan dengan kondisi ekonomi anggota koperasi yang rata-rata terbilang miskin (dibawah pendapatan rata-rata nasional) dan arah pembinaan pemerintah yang lebih pada pembangunan usaha ketimbangan pengkaderan koperasi.

Buruknya kinerja koperasi ternyata diperparah oleh kurang baiknya kinerja pembina. Kondisi seperti ini sebenarnya sudah diketahui sejak era orde baru, yang diduga terkait erat dengan pendekatan, strategi dan pola pembinaan serta kualitas SDM pembina. Dalam hal ini Nasution 1990 dalam desertasinya mengatakan bahwa kunjungan pembina membawa dampak negatif bagi kenerja koperasi (KUD), yang diindikasikan dari semakin banyak kunjungan pembina ke suatu KUD maka akan semakin cepat KUD tersebut mengalami penurunan kinerjanya. Perbaikan konsepsi pembinaan ternyata sampai sekarang ini belum banyak mendapat perhatian dari pemerintah dan hal ini diduga terkait dengan komitmen politik untuk memberdayakan koperasi yang cukup kuat, sehingga pembenahan permasalahan tersebut belum mendapat respon yang significant dari Pemerintah.

Permasalahan diatas nampaknya juga terkait dengan masalah-masalah internal koperasi yang belum terselesaikan antara lain; a)proses penyempurnaan RUU Perkoperasian yang sudah tersendat hampir 4 tahun; b) Pergantian Pengurus Dewan koperasi Indonesia (DEKOPIN) yang berakhir kisruh sehingga gerakan koperasi pecah.

Review Jurnal Koperasi 17

Nama Anggota Kelompok :

  • Lestari Setyawati  (24210005)
  • Ericha Dian N.   (22210387)
  • Rayi Kinasih   (25210688)
  • Dewi Kencanawati   (21210903)
  • Syiam Noor W.   (26210798)
  • Nihlah Adawiyah (24210976)
  • Dwikie Bayu Ramadhan   (22210218)

 

 

PEMBERDAYAAN KOPERASI USAHA KECIL DAN MENENGAH

DALAM MEMANFAATKAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (HAKI)

ABSTRAK

Pemberdayaan Koperasi dan UKM dalam penelitian ini hanyalah ingin tahu di lapangan jelas,bagaiman koperasi dan UKM memanfaatkan Hak Kekayaan Intelektual dan seberapa jauh itu pemerintah memberikan promosi untuk lembaga yang bersangkutan, sehingga informasi yang diterima oleh koperasi dan UKM dari perusahaan yang sama. Rendah minat untuk memanfaatkan Kekayaan Intelektual Hak membuat juga bunga rendah untuk mendaftarkan perusahaan mereka dan tidak mau membayar biaya di luar bisnis. Responden sangat ingin menunggu promosi informasi mengenai Hak Kekayaan Intelektual dari Pemerintah atau
instansi terkait.lembaga yang bersangkutan, sehingga informasi yang diterima biaya di luar bisnis.

I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Dalam era globalisasi sekarang ini, untuk dunia perdagangan  internasional batas negara boleh dikatakan hamper tidak ada lagi, karena setiap negara telah menyepakati kesepakatan internasional di bidang perdagangan seperti WTO, APTA, APEC dan lain sebagainya harus tunduk kepada kesepakatan tersebut. Dengan demikian setiap Negara tidak dapat lagi melindungi perekonomiannya dengan kebijakan tariff maupun fiskal melebihi kesepakatan yang telah diterapkan. Termasuk diantaranya pemberian perhatian khusus terhadap perlindungan pada hak kekayaan Intelektual (HaKI) yang diwujudkan dalam bentuk perjanjian (Agreement Establishing The Word Trade Organization) yaitu salah satu persetujuan di bawah WTO berupa perjanjian atau persetujuan mengenai aspek-aspek dagang yang terkait dengan hak kekayaan intelektual, termasuk perdagangan palsu (Agreement on the Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights atau persetujuan TRIP’s, Including Trade in Counferfeit Goods). Indonesia telah mengikrarkan ikut dalam organisasi perdagangan dunia atau World Trade Organization (WTO) dengan mengesahkan keikutsertaannya dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1997. Dalam era tersebut persaingan yang terjadi adalah persaingan antar produsen ataupun perusahaan dan bukan lagi antar negara. Siapa yang dapat bekerja lebih professional dan efisien itulah yang keluar sebagai pemenang dan dapat eksis di pasar. Koperasi, usaha kecil dan menengah yang telah terdaftar dan mendapatkan Hak Kekayaan Intelektual antara lain : CV. Hadle (garmen) di Cempaka Putih dengan merek “Supramanik”, Atikah(garmen) di Jawa dengan merek “Dewi Bordir”, PT. Lembaga Kencana (susu sapi) di Bandung dengan merek “Lambang Kencana”, dan Endjang Dudrajat (peti antik) di Jawa Barat dengan merek “Pramanik”. Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil lebih memberikan leluasa gerak dari usaha kecil. Pada pasal 12/1995 Pemerintah menumbuhkan iklim usaha dalam aspek perizinan usaha sebagaimana dimaksud pasal 6 ayat (1) huruf f dengan menetapkan Peraturan Perundang-Undangan dan Kebijakan untuk:

1). Menyederhanakan tata cara dan jenis perizinan dengan mengupayakan terwujudnya sistem pelayanan satu atap;

2). Memberikan kemudahan persyaratan untuk memperoleh perizinan. Di bidang Perkoperasian Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, pasal 61 menyebutkan antara lain: “Dalam upaya menciptakan dan mengembangkan iklim kondusif yang mendorong pertumbuhan dan pemasyarakatan Koperasi, Pemerintah :

1). Memberikan kesempatan usaha yang seluas-luasnya kepada Koperasi;

2). Meningkatkan dan memantapkan kemampuan Koperasi agar menjadi Koperasi yang sehat, tangguh dan mandiri;

3). Mengupayakan tata hubungan usaha yang saling menguntungkan antara Koperasi dengan badan usaha lainnya;

4). Memberdayakan Koperasi dalam masyarakat. Berbagai kebijakan tersebut diatas mengindikasikan pemerintah sangat peduli akan tumbuh dan berkembangnya Koperasi dan Usaha Kecil dengan melindungi dan memberikan iklim, baik untuk Koperasi dan Usaha Kecil. Undang-Undang yang memuat ketentuan-ketentuan tentang merek pertama kali dikenal dengan di undangkannya Undang- Undang No. 21 Tahun 1961 tentang “Merek Perusahaan dan Perniagaan”. Undang-Undang ini dikenal dengan sebutan undangundang merek dan merupakan perubahan tentang ketentuan yang mengatur tentang merek sejak zaman kolonial dahulu yang disebut “Reglement Industrial Eigendom Kolonial”. Undang-Undang No. 21 Tahun 1961 menganut sistem “Deklaratif” dengan pengertian bahwa perlindungan hukum terhadap hak atas merek yang diberikan kepada pemakai merek pertama. Di dalam pelaksanaan Undang-Undang tersebut dirasakan masih kurang tepat karena belum menggambarkan/mengikat kepastian hukum, oleh karena itu pemerintah mengeluarkan Undang- Undang baru No. 19 Tahun 1992 tentang merek. Ada perbedaan yang sangat menyolok pada Undang-Undang No.19 Tahun 1992 menganut sistem “Konstitutif” yang lebih menjamin kepastian hukum karena perlindungan hukum hak atas merek diberikan kepada pendaftar pertama. Tahun 1997 oleh Pemerintah dikeluarkan Undang-Undang No. 14 Tahun 1997 sebagai penyesuaian Undang-Undang No. 19 tahun 1992, yang mengatur tentang merek dagang dan jasa, kemudian diatur lagi Undang-Undang merek yang khusus pada UU Merek No. 15 Tahun 2001. Perkembangan perdagangan dunia internasional yang semakin cepat, menuntut kesepakatan dan komitmen terhadap pengurangan segala hambatan-hambatan perdagangan dunia internasional di berbagai aspek tetapi menjunjung tinggi azas legalitas yang telah disepakati bersama.

2. Rumusan Masalah

Kalau dilihat dari judul penelitian, maka dapatlah diidentifikasi

permasalahan sebagai berikut :

1). Sejauhmana sebenarnya minat dari Koperasi, Usaha Kecil dan

Menengah untuk memanfaatkan Hak Kekayaan Intelektual (HaKI).

2). Sejauhmana pemberian penyuluhan-penyuluhan HaKI oleh lembagalembaga

pemerintah yang terkait.

3). Sejauhmana hambatan-hambatan yang dihadapi Koperasi, Usaha

Kecil dan Menengah selaku pemanfaat HaKI.

3. Tujuan dan Manfaat

1). Tujuan

Tujuan dari penelitian ini dapat disampaikan antara lain :

– Seberapa minat untuk memanfaatkan Hak Kekayaan Intelektual

(HaKI) bagi Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah.

– Faktor-faktor penyebab kurang minatnya untuk memanfaatkan

Hak kekayaan Intelektual (HaKI) bagi koperasi, Usaha Kecil dan

Menengah.

2). Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi lembaga, dinas

terkait, serta KUKM sebagai bahan penyusunan rencana kebijakan

yang akan datang.

4. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian meliputi :

1). Gambaran produk-produk yang dihasilkan KUKM

2). Langkah-langkah operasional yang telah dilakukan instansi, dinas

yang menangani HaKI

3). Faktor-faktor penghambat dalam mendapatkan HaKI oleh Koperasi,

Usaha Kecil dan Menengah.

II. KERANGKA PEMIKIRAN

Arti penting HaKI adalah :

1. “Sebagai suatu sistem, HaKI sebagai sarana pemberian hak kepada pihak-pihak yang memenuhi persyaratan dan memberikan perlindungan bagi para pemegang hak dimaksud; dan

2. HaKI adalah alat pendukung pertumbuhan ekonomi sebab dengan adanya perlindungan terhadap HaKI akan terbangkitkan motivasi manusia untuk menghasilkan karya intelektual”. (UU Hak Cipta, Paten & Merek, 2001).

1. Merek

Di dalam Undang-undang Republik Indonesia tentang PATEN dan MEREK Tahun 2001, khusus untuk merek diatur oleh Undang-undang Merek Nomor 15 Tahun 2001. Yang dimaksud “Merek” adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut memiliki daya pembeda dan digunakan dalam

kegiatan perdagangan barang atau jasa”. Merek merupakan karya intelektual yang menyentuh kebutuhan manusia sehari-hari dalam melengkapi hidupnya misal saja untuk makanan, minuman dan keperluan sekunder seperti TV, radio, kulkas, AC dan alat rumah tangga lainnya. Selain sebagai tanda yang mudah dikenal pelaku konsumen juga dapat memberikan jaminan bagi kualitas barang jasa apabila para konsumen sudah terbiasa menggunakan merek tertentu untuk kebutuhannya. Perlindungan hukum bagi pemilik merek tidak hanya dapat dipandang dari aspek hukum saja, tetapi perlu dipandang dari aspek ekonomi dan sosial yang terdapat dalam masyarakat. Dalam Undangundang Merek Nomor 15 Tahun 2001 pasal 90 berbunyi; “Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama ataukeseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.

2. Sosialisasi Mendapatkan HaKI

Untuk meningkatkan kesadaran tentang HaKI sangat perlu dilakukan sosialisasi pada masyarakat. Penilaian komersial patut dihargai bagi seseorang yang telah maju dalam berbisnis. Nilai komersial bisa hilang apabila usaha tersebut tidak diikat erat-erat dengan ketentuan perundang-undangan. Di Indonesia kelihatannya HaKI kurang diminati oleh pelaku bisnis, karena kurangnya penyuluhan, kurangnya pembinaan pemerintah bagi usaha yang telah mulai baik jalannya. Hal tersebut disebabkan kultur masyarakat yang beranggapan memperbanyak karya intelektual dengan mempromosikan karya tersebut tidak perlu otorisasi, ada yang beranggapan tanpa HaKI barang/produk juga terjual, dan biaya administrasi tinggi berarti menambah beban usaha saja. Persepsi yang keliru di kalangan masyarakat khususnya pengusaha

tersebut perlu segera diluruskan dan diperbaiki dengan memberikan pengertian-pengertian yang jelas tentang HaKI. Tujuan sosialisasi dibidang HaKI adalah untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat mengenai sistem HaKI nasional maupun internasional termasuk dalam hal merek.

3. Sengketa Merek Bagi Pelaku Bisnis

Sengketa merek sering terjadi bagi pengusaha yang usahanya sudah maju dan berkembang dengan baik dengan merek dagang dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat, dimana merek dagangnya telah dipalsukan oleh pengusaha lainnya. Sengketa penggunaan merek tanpa hak dapat digugat dengan delik perdata maupun pidana, disamping pembatalan pendaftaran merek tersebut. Tindak pidana dalam hal merek dapat dibagi 2, yaitu Tindak Pidana Kejahatan dan Tindak Pidana Pelanggaran. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek menyebutkan : Pasal 92 ayat 1 : “Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada keseluruhan dengan indikasi geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar, dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

III. METODE PENELITIAN

1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian terpilih sampel ada 4 (empat) propinsi yaitu Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Lampung. Terpilihnya empat propinsi tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangan bahwa informasi dan data diperoleh dapat mewakili Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah yang tersebar sampai pelosok Indonesia. Demikian pula jenis usaha yang akan dilihat beragam usaha industri rumah tangga, merupakan mata pencaharian tetap bagi pebisnis kecil, dengan administrasi sangat sederhana, tenaga kerja setempat (lokal), jam kerja pun belum tentu memenuhi standar yang ditetapkan pemerintah. Disamping itu pertimbangan lain adalah dana dan tenaga yang tersedia. Karakteristik produk dari keempat propinsi sampel antara lain, Propinsi Kalimantan Selatan terkenal dengan produksi mandau (golok), tikar lampit rotan, kipas rotan, keranjang rotan, tas dari manik. Kalimantan Tengah terkenal pula dengan hasilnya seperti anyamanyaman tikar dari rotan yang disebut tikar lampit dan kursi rotan. Kalimantan Timur cukup terkenal dengan sarung Samarinda, tas dan sarung pensil manik, bengkel bubut pembuatan kipas kapal. Propinsi Lampung kerajinan rumah tangga terkenal dengan pembuatan kopi, keripik singkong, keripik pisang dan makanan-makanan kecil lainnya. Dengan memadukan beberapa propinsi yang mempunyai penghasilan beragam, tentunya akan muncul pendapat responden tentang minat memanfaatkan Hak Kekayaan Intelektual.

2. Populasi Penelitian

Dari empat propinsi yang diteliti maka data-data diambil sebagai berikut : setiap propinsi 3 kabupaten/kota berarti daerah survey 12 kabupaten/kota. setiap kabupaten/kota diambil datanya 5 koperasi dan 5 usaha kecil dan menengah. Koperasi yang disurvei berjumlah 60 koperasi, dan 60 usaha kecil dan menengah. Jumlah data terkumpul yangdiperoleh 120 koperasi, Usaha Kecil dan Menengah. Data-data yang telah terkumpul dianalisis untuk mengetahui minat dari pada pembisnis dalam memanfaatkan Hak Kekayaan Intelektual (HaKI).

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Karakteristik Pengusaha

1). Persepsi Dan Pemanfataan HaKI

Dari hasil survei lapangan diketahui bahwa 100,00% responden menyatakan pernah mendengar tentang HaKI. Penyuluhan yang telah diperoleh yaitu, dari instansi terkait (pembina) hanya 18,75%, melalui media massa 5,00%, dan melalui pengusaha 76,25%. Pemahaman tentang HaKI, dari responden yang mengatakan mamahami 30,00%, dan yang tidak paham HaKI 70,00%. Guna kemajuan usaha telah pula diperoleh informasi yang jelas, bahwa responden mengatakan tanpa HaKI perusahaan tetap jalan 75,00%, dan yang mengatakan terhambat jalannya 25,00%

2. Faktor Mempengaruhi Mendapatkan HaKI

1). Permohonan Dan Biaya HaKI

Persyaratan pengajuan permohonan untuk mendapatkan HaKI telah ditetapkan oleh Departemen Hukum Dan HAM Cq. Direktorat Jenderal HaKI. Baik untuk permohonan Paten maupun

Merek. Permohonan administrasi sebagai berikut:

– Pemohon langsung mengajukan permohonan kepada Dirjen

HaKI di Jakarta.

– Mengoreksi salah atau benar permohonan oleh Ditjen HaKI

melalui Tim.

– Permohonan ditolak Ditjen HaKI, untuk perbaikan cukup

memakan waktu.

– Pembayaran biaya permohonan, rekening nomor 311928974

BRI Cabang Tangerang atas nama Direktorat Jenderal HaKI.

– Kantor Wilayah (Daerah) atau pejabat yang ditunjuk,

membubuhkan tanda tangan dan stempel pada permohonan

diterima.

(1). Biaya Paten antara lain terdiri dari :

– Biaya permohonan paten

– Biaya pemeriksaan substansi paten

– Penulisan deskripsi, abstrak, gambar

– Biaya lain-lain

(2). Biaya Merek antara lain terdiri dari :

– Biaya permohonan merek

– Biaya perpanjangan merek

– Biaya pencatatan pengalihan hak merek

– Biaya lain-lain

2). Usaha Koperasi dan Usaha Kecil

Responden yang diwawancarai kebanyakan usaha bergerak dalam lingkungan industri kerajinan rakyat (industri alat rumah tangga). Kegiatan usaha mempekerjakan keluarga, tetangga dan penduduk sekitar tempat usaha. Pengembangan usaha relatiflamban, karena modal kecil, usaha turun temurun, kadangkadang produksi berdasarkan pesanan. Bagi koperasi, jenis usaha ditekuni umumnya unit toko dan unit simpan pinjam yang kebanyakan melayani anggotanya. Ada jenis usaha lain yang didirikan koperasi, tapi belum banyak berkembang, oleh karena itu untuk membiayai usaha tersebut diambilkan dananya dari usaha yang telah maju. Bagi usaha koperasi pengambilan keputusannya berbeda sekali dengan keputusan diambil usaha kecil termasuk usaha

menengah. Keputusan yang diambil koperasi berdasarkan kehendak para anggota, disalurkan melalui rapat anggota. Pengurus koperasi tidak mempunyai wewenang dalam menentukan kegiatan baru, lebih-lebih kegiatan tersebut memerlukan biaya-biaya. Bila pengurus ingin untuk mendapatkan HaKI, maka pengurus koperasi harus mendapatkan persetujuan dari anggota dengan rencana kerja yang disahkan. Koperasi milik anggota dengan semboyan “dari, oleh, untuk” anggota. Rencana kerja yang telah disahkan melalui rapat, sangat penting bagi organisasi

koperasi untuk mengetahui hasil kerja pengurus dalam satu tahun buku. Didalam neraca tahunan terlihat apakah suatu koperasi rugi atau untung. Karena lambatnya keputusan yang diambil harus

melalui rapat anggota, bila ada peluang usaha yang harus diputuskan waktu itu juga, tidak dapat diputuskan. Akibatnya koperasi tidak dapat mengambil peluang usaha. Beberapa orang pengurus dan manager yang ditunjuk mengelola usaha koperasi, bukan membuat keputusan tetapi menjalankan keputusan yangtelah ada berdasarkan hasil rapat anggota. Pengurus mempertanggung jawabkan hasil kerjanya selama tahun buku kepada rapat anggota, sedangkan manager mempertanggung jawabkan hasil kerjanya kepada pengurus, karena manager diangkat pengurus dalam surat keputusan dengan masa jabatan telah ditetapkan. Pekerjaan yang ada di koperasi, baik administrasi organisasi, administrasi usaha dipertanggung jawabkan pengurus

pada akhir tahun buku dalam rapat anggota tahunan (RAT).

3). Kiat-Kiat Peningkatan Pemanfaatan HaKI

Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) sudah seharusnya dapat meningkatkan pemanfaatan penggunana HaKI oleh koperasi, usaha kecil dan menengah. Memberikan peran yang luas pada Kanwil Hukum Dan HAM didaerah (dinas didaerah)

antara lain :

(1). Pemberian penyuluhan bersama dinas terkait secara kontinu.

(2). Permohonan yang disampaikan koperasi, usaha kecil dan menengah melalui Kanwil Hukum Dan HAM di daerah (dinas daerah), segera dikirim kepada Direktorat Jenderal HaKI di Jakarta, untuk disahkan.

(3). Bagi daerah pemohon yang tinggal dipedesaaan jauh dari

Jakarta (luar Jawa), administrasi pemohon dijamin tidak

mengalami kekeliruan.

(4). Biaya permohonan, biaya lain-lain, besar biayanya ditinjau

kembali.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

Dari hasil survei lapangan dapat disimpulkan sebagai berikut:

1). Rata-rata responden pernah mendengar HaKI (100,00%), tetapi belum mengerti arti dan pentingnya, serta prosedur pengajuan administrasi.

2). Rata-rata responden mengatakan tanpa HaKI perusahaan tetap jalan (75,00%). Usaha dikelola kecil-kecil dan diantaranya ada usaha yang turun-temurun

3). Rata-rata responden mengatakan kurang berminat memiliki HaKI (52,50%), dan tidak berminat (45,25%). Ini disebabkan biaya dikeluarkan akan mengganggu kelancaran usaha.

4). Hasil jajak pendapat dilapangan (survei responden) mengatakan, menunggu penyuluhan tentang HaKI dari pemerintah dan instansi terkait.

2. Saran-Saran

1). Penyuluhan HaKI didaerah-daerah terus ditingkatkan, agar koperasi, usaha kecil dan menengah mengetahui arti dan pentingnya HaKI.

2). Biaya permohonan, biaya administrasi, dan biaya lain-lain agar ditinjau kembali, termasuk syarat pembayaran. Pembayaran oleh pemohon setelah permohonan diterima, yang disyahkan Direktorat Jenderal HaKI Jakarta.

Review Jurnal Koperasi 16

Nama Anggota Kelompok :

  • Lestari Setyawati  (24210005)
  • Ericha Dian N.   (22210387)
  • Rayi Kinasih   (25210688)
  • Dewi Kencanawati   (21210903)
  • Syiam Noor W.   (26210798)
  • Nihlah Adawiyah (24210976)
  • Dwikie Bayu Ramadhan   (22210218)

 

 

KAJIAN PENGENDALIAN ANGOTA PADA KOPERASI DALAM RANGKA PENINGKATAN KINERJA KOPERASI 

 ABSTRAK

Koperasi adalah badan usaha yang unik, berbeda dari perusahaan bisnis lainnya. Perbedaannya seperti: koperasi yang didirikan tidak semata-mata mengejar keuntungan untuk koperasi sendiri, namun koperasi ditugaskan untuk memberikan layanan kepada anggota sehingga untuk mendapatkan tidak diukur dari kemampuan untuk mencapai keuntungan, tetapi diukur dari kemampuan meningkatkan kondisi ekonomi rumah tangga anggota. Anggota koperasi adalah pemilik dan sekaligus sebagai pengguna / konsumen, Status merupakan identitas koperasi dimana anggota memiliki identitas ganda koperasi.

Manajemen adalah proses mengoptimalkan organisasi koperasi, pakaian yang terdiri dari:

a) rapat anggota,

b) dewan direksi dan pengawas dan sistem manajemen memanfaatkan manusia sumber daya, material dan keuangan, untuk mencapai objecktive ditentukan serta meningkatkan kinerja koperasi.

Pendahuluan

Pengembangan koperasi dalam dimensi pembangunan nasional yang berdasarkan sistem ekonomi kerakyatan, tidak hanya ditujukan untuk mengurangi masalah kesenjangan pendapatan antar golongan dan antar pelaku, ataupum penyerapan tenaga kerja. Lebih dari itu, pengembangan koperasi diharapkan mampu memperluas basis ekonomi dan dapat memberikan kontribusi dalam mempercepat perubahan struktural, yaitu dengan meningkatnya perekonomian daerah, dan ketahanan ekonomi nasional.

Pertumbuhan koperasi diberbagai sektor hendaknya dapat mengimplementasikan dan menumbuhkembangkan prakarsa dari semua pihak yang terkait, terutama yang menyangkut aspek penciptaan investasi dan iklim berusaha yang kondusif, kerjasama yang harmonis dan sinergi antara pemerintah, dunia usaha dan masyarakat pada tingkat pusat, propinsi, dan kabupaten/kota. Mengingat peran koperasi yang dapat bertahan terhadap krisis ekonomi, prakarsa berbagai pihak terkait diharapkan dapat terus meningkatkan peran koperasi dalam mewujudkan ekonomi kerakyatan. Dalam rangka peningkatan kinerja koperasi, melalui pencapaian sasaran dan tujuan, baik untuk meningkatkan pelayanan kepada anggota maupun meningkatkan kemampuan koperasi untuk memperoleh sisa hasil usaha, maka koperasi sebagai lembaga ekonomi perlu meningkatkan daya saingnya, agar dalam menjalankan usahanya selalu berpedoman pada efisiensi dan efektifitas usaha. Cara terbaik untuk melaksanakan usaha yang berdasar kepada unsur-unsur efisiensi dan efektifitas usaha adalah melalui pelaksanaan sistem manajemen yang baik.

1.1. Tujuan

  1. Untuk mengetahui tingkat kemampuan anggota dalam memahami dan cara-cara melakukan evaluasi terhadap laporan pengurus.
  2. Mengidentifikasikan kualitas pemahaman anggota, akan pentingnya pengendalian koperasi oleh anggota dalam rangka peningkatan kinerja koperasi.
  3. Mengukur tingkat kesadaran anggota akan pentingnya pengendalian koperasi oleh anggota melalui rapat yang merupakan kewajiban anggota.

1.2. Sasaran.

  1. Terwujudnya peningkatan pengendalian anggota pada koperasi melalui rapat anggota dalam rangka peningkatan kinerja koperasi
  2. Terwujudnya pelaksanaan rapat anggota koperasi dengan sebaik-baiknya, berdasarkan keputusan keinginan anggota
  3. Terwujudnya peningkatan partisipasi dan kontribusi anggota terhadap koperasi sejak perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian.
  4. Meningkatnya kinerja koperasi dalam memberikan pelayanan terhadap anggota.

1.3. Ruang Lingkup Kegiatan
Ruang lingkup kegiatan ini adalah melakukan pengkajian terhadap pengendalian anggota pada koperasi dalam rangka peningkatan kinerja koperasi, sehingga partisipasi anggota koperasi tidak hanya terbatas pada aktivitas usaha saja, tetapi juga dalam aktivitas manajemen yang dilakukan koperasi. Untuk melakukan kegiatan dimaksud, maka langkah-langkah yang perlu dijalankan adalah:
1. Memilih lokasi pelaksanaan survey terhadap pembina koperasi propinsi, kabupaten/kota, pengurus koperasi, dan anggota
2. Menyiapkan panduan dan kuessioner pengumpulan data dari pembina, pengurus koperasi, dan anggota
3. Merumuskan indikator kajian pengendalian anggota terhadap kinerja koperasi
4. Melakukan pengumpulan data dan informasi lapang
5. Melakukan pembahasan konsep kajian untuk penetapan jenis-jenis pengendalian anggota terhadap kinerja koperasi
6. Penyempurnaan konsep final hasil kajian pengendalian anggota terhadap kinerja koperasi’

1.4. Metodologi
Metode yang digunakan dalam pelaksanaan kegiatan ini adalah penelitian lapang dengan metode Analisis Deskriptif, pendekatan partisipatif. Dengan model analisis ini, pembahasan hasil analisa dapat dilakukan secara komprehensif dan selanjutnya menyusun ruang lingkup wilayah dan pendataan, antara lain;
1. Wilayah Kajian
Untuk memperoleh data dan informasi sebagai dasar analisis dilakukan diskusi dengan pembina koperasi, di 10 (sepuluh) propinsi dan 10 (sepuluh) kabupatan/kota. Diskusi ini ditujukan untuk memperoleh data yang representatif, sehingga memungkinkan dapat mewakili seluruh Indonesia.

2. Jenis dan Sumber Data
Sesuai dengan lingkup kajian dan tujuan yang ingin dicapai, maka kegiatan ini menghimpun beberapa macam data dan informasi. Data dan informasi yang dihimpun digali dari berbagai sumber, antara lain mencakup;
a. Undang-undang dan peraturan pemerintah yang berhubungan dengan kegiatan koperasi
b. Data dan informasi dari pembina propinsi dan kabupaten/kota
c. Data dan informasi dari pengurus koperasi
d. Data dan informasi dari anggota koperasi
e. Informasi dari instansi terkait dan litetatur yang relevan.

II. Tinjauan Teoritis

2.1. Pemahaman Koperasi
Koperasi sebagai badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi, dalam melakukan kegiatannya berdasarkan pada prinsip koperasi, seperti tertuang dalam UU Republik Indonesia, Nomor 25 Tahun 1992, Tentang Perkoperasian. Koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat maupun sebagai badan usaha berperan serta untuk mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur dalam tata perekonomian nasional.

Perumusan jatidiri koperasi menurut ICA di Manchaster (ICA Cooperative identity statement/ICS) tahun 1995, terdiri dari:
1. Definisi Koperasi. Koperasi adalah perkumpulan otonomi dari orang-orang yang berhimpun secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan aspirasiaspirasi ekonomi, sosial dan budaya bersama melalui perusahaan yang mereka miliki
bersama dan mereka kendalikan secara demokratis;
2. Nilai-nilai. Koperasi mendasarkan diri pada nilai-nilai menolong diri sendiri, tanggung jawab sendiri, demokratis, persamaan, kejujuran, keterbukaan, tanggung jawab sosial dan kepedulian terhadap orang lain;
3. Prinsip-prinsip (sebagai penjabaran nilai-nilai), prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
1). Keanggotaan sukarela dan terbuka;
2). Pengendalian oleh anggota secara demokratis;
3). Partisipasi ekonomi anggota;
4). Otonomi dan kebebasan;
5). Pendidikan, pelatihan dan informasi;
6). Kerjasama diantara Koperasi;
7). Kepedulian terhadap komunitas;

2.2. Ciri-ciri Koperasi Indonesia

Indonesia termasuk salah satu negara yang menerbitkan perundang-undangan yang khusus mengatur koperasi. Undang-undang (UU) yang berlaku saat ini adalah UU RI Nomor 25 Tahun 1992, Tentang perkoperasian. Ciri-ciri koperasi Indonesia secara umum dituangkan dalam pasal 2, 3, 4, dan 5 yang menetapkan prinsip koperasi Indonesia, terdiri dari 7 (tujuh) butir dalam 2 ayat, yaitu :
1. Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka;
2. Pengelolaan dilakukan secara demokratis;
3. Penbagian Sisa Hasil Usaha dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa masing-masing anggota.
4. Pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal;
5. Kemandrian;
6. Pendidikan perkoperasian;
7. Kerjasama antar koperasi;

III. Pengendalian Anggota Untuk Meningkatkan Kinerja Koperasi

Pengendalian anggota untuk meningkatkan kinerja koperasi dapat dilakukan oleh anggota setiap saat, tidak terbatas hanya pada pelaksanaan forum rapat anggota saja, yang frekwensi pelaksanaan dan waktu pelaksanaan sangat terbatas. Hal ini dapat dilihat dalam
Pasal 20 ayat (2) butir d dan f UU No. 25 tahun 1992. Namun pengendalian diluar forum rapat anggota biasanya sangat spesifik dan sering tendensius untuk kepentingan perorangan, maka dalam kajian pengendalian ini lebih dititik beratkan pada hal-hal yang lebih umum dan bersifat menyeluruh dalam pelaksanaan perkoperasian dalam rangka peningkatan kinerja koperasi melalui pelaksanaan rapat anggota.

3.1 Tehnik Pengendalian Oleh Anggota

Tehnik pengendalian oleh anggota melalui rapat anggota terutama rapat anggota tahunan, adalah dengan melakukan evaluasi yang cermat terhadap laporan yang disampaikan oleh pengawas dan pengurus, baik secara tertulis maupun lisan. Laporan yang disampaikan oleh pengurus adalah kegiatan yang dilaksanakan oleh koperasi dalam kurun waktu tertentu. Dalam hal ini kapasitas dan kemampuan setiap anggota untuk mengkoreksi kinerja koperasi sangat diperlukan.

3.2 Materi Pengendalian

Materi pengendalian anggota dalam rangka meningkaktan kinerja koperasi terutama yang menyangkut dengan organisasi dan usaha koperasi dengan titik berat kepada efisiensi dan efektivitas, antara lain adalah :
a. Kelembagaan Koperasi
Pengendalian anggota pada kelembagaan koperasi yang menjadi penekanan
dalam organisasi dan manajemen koperasi adalah :
1) Pengurus, Pengawas dan Karyawan Koperasi
2) Kelengkapan dan pemeliharaan administrasi organisasi
3) Rencana Pengembangan Usaha Koperasi
4) Penyelenggaraan rapat anggota, rapat pengurus dan rapat pengawas, pendidikan koperasi, kunjungan dll.

b. Usaha Koperasi.
Mengkaji jenis-jenis usaha baik yang sudah dilaksanakan maupun yang direncanakan atau akan dilaksanakan, terutama untuk pengembangan usaha baru. Hal-hal yang menjadi dasar pertimbangan untuk mengevaluasi usaha koperasi adalah dampak berupa manfaat yang diberikan oleh usaha tersebut kepada lembaga dan anggota koperasi. Artinya harus memperhatikan usaha yang memberikan manfaat kepada anggota dan pertimbangan perolehan pendapatan dari usaha tersebut.

c. Laporan Pengurus
Laporan pengurus yang merupakan materi pengendalian anggota dalam rangka peningkatan kinerja koperasi adalah laporan realisasi usaha dan keuangan selama kurun waktu tertentu.

d. Dokumen Bahan Pengendalian Anggota pada Koperasi
Dari perkembangan pelaksanaan rapat anggota yang biasa dilakukan oleh koperasi, beberapa hal yang menjadi pokok bahasan dan perlu dicermati sebagai bahan pengendalian koperasi oleh anggota adalah sebagai berikut:
1) Susunan Acara Rapat,
2) Tata Tertib Rapat,
3) Berita Acara Rapat,
4) Perkembangan Organisasi,
5)Susunan Pengurus, Pengawas,
6) Daftar Karyawan Koperasi,
7) Surat Masuk dan Keluar,
8) Daftar simpanan anggota,
9) Ilustrasi Neraca 2 tahun terakhir,
10) Laporan Perhitungan Hasil Usaha,
11) Laporan Perhitungan Pembagian SHU,
12) Laporan arus kas,
13) Laporan perubahan kekayaan bersih, dan
14) Laporan perubahan inventaris.

4. Kesimpulan

1. Identifikasi tersebut belum mewakili seluruh kondisi pelaksanaan pengendalian anggota pada koperasi. Namun demikian, tidak dipungkiri pengendalian anggota ini merupakan kondisi ideal yang diperlukan untuk mendukung pengembangan koperasi.

2. Pengendalian anggota pada koperasi melalui rapat anggota dapat terlaksana dengan baik, apabila setiap anggota menyimak dengan baik materi laporan pengurus. Namun dalam kenyataannya pelaksanaan rapat anggota belum mengindikasikan pengendalian anggota terhadap koperasi, kehadiran anggota pada umumnya hanya sekedar memenuhi qorum agar rapat anggota dapat dilakukan.